“Ah, lo sama aja kayak anggota DPR, jalan-jalan ke luar negeri pakai duit negara”
Sebelum Anda menghakimi saya dengan ungkapan yang luar biasa keji tersebut, berikan kesempatan saya membela diri terlebih dahulu. Saya pergi ke Chennai dalam rangka tugas untuk mengunjungi salah satu vendor sebuah Bank di Indonesia. Tugas saya adalah memastikan vendor tersebut telah memenuhi prinsip kehati-hatian dalam operasionalnya, sehingga uang Bank yang digunakan untuk membayar vendor tersebut (yang tentunya uang masyarakat juga) tidak terbuang sia-sia. Lebih lanjut, kunjungan saya dan tim juga untuk memastikan data-data nasabah Indonesia yang diolah di Chennai tidak disalahgunakan.
Tapi kan elo juga sempet jalan-jalan.
Iya, saya jalan-jalan. Di hari kepulangan saya. Di kantor saya, berlaku aturan H-1 dan H+1 untuk pergi dan pulang dinas. Artinya, dalam kasus Chennai ini, karena penugasan saya untuk hari Senin sampai Kamis, maka saya diharuskan berangkat H-1, hari Minggu dan pulang hari Jumat. Nah, karena penerbangan pulang saya di hari Jumat adalah jam 11 malam waktu setempat, maka hari Jumat itu dimanfaatkan untuk melihat-lihat Chennai. Rasanya cukup fair.
Kalau tuduhan Anda sudah ditarik, silakan lanjutkan membaca kisah perjalanan saya di Chennai.
Keadaan Kota Chennai
Chennai benar-benar tidak berbeda jauh dibanding dengan kota-kota besar di Indonesia. Kecuali mungkin bahwa dari segi penampilan, kota ini terlihat tertinggal sekitar 20 tahun. Bus-bus kota di Chennai contohnya, mirip dengan bus PPD 213 jurusan Kampung Melayu-Grogol, hanya saja lebih tua 10 tahun.
Dan tanpa jendela.
Chennai memang mempunyai iklim pantai yang panas dan lembab. Tanpa jendela menjadi sebuah tindakan yang masuk akal untuk bus yang tidak menggunakan AC. Masalahnya, pas saya ke sini, entah kenapa gerimis menjadi keseharian Chennai. Dan untuk penumpang bus yang duduk dekat jendela, bersiap-siaplah basah.
Dan saluran air Chennai sungguh lebih buruk daripada Jakarta. Hanya gerimis kecil sebentar saja, sudah bisa membuat banyak genangan di jalanan Chennai.
Kalau Anda merasa pengemudi mobil di Jakarta adalah yang paling buruk, Anda perlu melihat bagaimana orang-orang India di Chennai berkendara. Salip kanan kiri, abaikan lampu lalu lintas, motor tanpa helm adalah keseharian Chennai. Dan hal itu diperparah dengan proyek Metrorail yang sedang dikerjakan di seantero kota. Awut-awutan.
Tapi harus diakui, Metrorail ini membuat Jakarta ketinggalan beberapa tahun dibandingkan dengan Chennai.
Kuliner
Soal kuliner, Anda pasti akan mencoba nasi briyani saat ke India.
Pertama kali mencoba nasi briyani, saya berpikir bahwa makanan India adalah jenis makanan yang bahkan akan saya tolak di tanggal tua masa mahasiswa saya. Nasi briyani adalah sejenis nasi goreng, dengan bumbu yang sangat kuat hingga sampai sekarang pun saya masih bisa membayangkan rasanya terkecap di lidah saya. Belum lagi porsi India sekitar dua kali lebih banyak daripada porsi Indonesia. Eneg.
Tapi pikiran itu langsung berubah begitu saya mencoba nasi briyani di restoran bernama Dindigul Thalappakati. Di restoran ini, bumbu yang digunakan tidak terlalu kuat, lebih bersahabat dengan lidah Indonesia. Apalagi cara penyajiannya yang unik, di mana setiap orang disediakan semacam nampan yang dilapisi dengan daun pisang.
Nampan itu memungkinkan kita berbagi beberapa menu dengan rombongan. “Makan tengah” istilahnya. Ambil masing-masing sebagian dari menu-menu itu dan campurkan dalam nampan kita. Makan pakai tangan. Yummy!
Yang tak kalah unik dari India adalah penyajian teh dan kopinya. Secara default, teh dan kopi disajikan dengan susu. Mirip lah dengan teh tarik Indonesia. Baik teh maupun kopinya enak. Sehari bisa sampai tiga kali saya nge-teh.
Wisata
Saat masih di Indonesia, saya sempatkan gugling lokasi-lokasi wisata di sekitar Chennai. Gugling itu berakhir buruk karena tak satu pun tempat wisata menarik untuk saya untuk mengunjungi.
Tetapi, saya terkesan ketika melihat Mahabalipuram.
Mahabalipuram, atau juga disebut dengan Mamalipuram, adalah sebuah kompleks candi. Salah satu candi di kompleks tersebut disebut five rathas, sebuah situs candi yang terdiri dari lima bangunan dan tiga patung binatang: singa, gajah, dan sapi. Yang mengesankan, five rathas adalah sebuah candi monolitikum. Keselurahan tempat tersebut, semua bangunan dan patung yang saya sebutkan tadi dibentuk dari satu batu.
Iya, satu batu. Satu batu besar yang ditatah menjadi lima kuil dan tiga patung.
Candi yang lain disebut sea shore temple. Seperti namanya, sea shore temple terletak di sebuah tanjung yang sedikit menjorok ke pantai sehingga dikelilingi oleh lautan. Tak seperti five rathas, sea shore temple terdiri dari banyak batu yang disusun. Mirip lah dengan candi-candi di Indonesia.
Di sekitar candi di Mahabalipuram ini banyak burung-burung berkeliaran. Bukan burung gereja atau merpati, tapi burung gagak. Iya, burung hitam yang sedikit lebih gedhe dari burung merpati itu, berterbangan dengan bebas di sekitar manusia, mirip dengan kelakukan burung gereja di sini. Mereka berkoak-koak dengan parau. Kalau orang Jawa dikelilingi sebanyak itu burung gagak di sini, dipastikan orang itu bakal stress tanpa sebab.
Belajar Bahasa Inggris
Salah satu pelajaran yang saya pelajari dalam perjalanan ke Chennai adalah: Jangan Malu Berbahasa Inggris.
Di India, seorang sopir pun dengan pede cas cis cus berbahasa Inggris meskipun miskin kosakata (vocab) dan tata bahasa (grammar) yang hancur. Kepedeaan itu membuat sebagian besar warga India cukup mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
Kemampuan berbahasa Inggris di India yang cukup merata, mengantar berbagai macam investasi di negeri itu. Selain vendor yang saya kunjungi, beberapa perusahaan teknologi internasioanl juga memilih untuk menempatkan kantornya di Chennai. Saya sendiri sempat melewati kantor Paypal di sini.
Kita lebih pintar dari mereka, tapi kita bangsa pemalu.
Itu yang membedakan orang Indonesia dengan orang India. Di sini, kebanyakan dari kita malu berbahasa Inggris karena takut grammar-nya salah. Dan lebih lanjut lagi, takut ditertawakan.
Akhirnya kemampuan berbahasa Inggris kita tidak meningkat.
Saya sendiri pun, mungkin perlu sering-sering ke Chennai agar bisa cus berbahasa Inggris.
Ga nyoba ngepost blog pake enggres chiel?
aku lagi njajal sih, ben ajar nulis.. 😀
Kalau dalam nge-blog, aku lagi fokus belajar menyampaikan ide sih, Mon. Jadi agak jarang nulis dalam bahasa Inggris.
Tapi aku beberapa kali nulis dalam bahasa Inggris di blog yg lama sama di Twitter sih…
Ga nyoba ngepost blog pake enggres chiel?
aku lagi njajal sih, ben ajar nulis.. 😀
Kalau dalam nge-blog, aku lagi fokus belajar menyampaikan ide sih, Mon. Jadi agak jarang nulis dalam bahasa Inggris.
Tapi aku beberapa kali nulis dalam bahasa Inggris di blog yg lama sama di Twitter sih…