Kemarin-kemarin di timeline saya bersliweran teman-teman yang mengaku peduli dengan agama dan perekonomian. You guys, rocks! Really. Salut untuk kalian yang berbuat aksi nyata demi agama dan perekonomian Indonesia terutama karena saya belum berani melakukannya. Tapi guys, “cerdas” dan “nyata” menurut kalian dan menurut saya mungkin agak sedikit berbeda.
Di sini saya tidak bermaksud menilai kalian. Kalian saja yang menilai ide saya ini, cerdas dan nyata atau tidak: membuat fintech peer-to-peer lending berbasis syariah.
Salah satu ancaman yang mampu mengganggu kemapanan bank adalah fintech. Perusahaan-perusahaan rintisan yang memanfaatkan teknologi untuk melakukan bisnis yang sama dengan yang dilakukan oleh bank. Dua bidang bisnis bank yang riuh diramaikan oleh fintech adalah sistem pembayaran dan pembiayaan peer-to-peer.
Dengan berbasis teknologi, perusahaan fintech mempunyai keunggulan luar biasa dibandingkan dengan bank terutama berupa kemudahan akses dan biaya yang jauh lebih murah. TransferWise dari Inggris bisa menjadi contoh untuk ini. Biaya pengiriman uang sebesar EUR 10.000 ke zona Euro melalui TransferWise hanya seperlima dari biaya yang dikenakan oleh bank konvensional untuk layanan yang sama. Pengguna juga tak perlu datang ke cabang hanya untuk mengirim uang ke luar negeri.
Sementara itu, dalam pembiayaan peer-to-peer, fintech mampu memberikan bunga yang jauh lebih murah bagi peminjam dengan credit score yang bagus. Di sisi lain, fintech juga memberikan kesempatan bagi pemilik uang untuk mendapatkan return yang lebih tinggi daripada bunga bank.
Wait, itu untuk fintech pembiayaan peer-to-peer konvensional. Saya heran sampai sekarang belum ada yang bikin perusahaan fintech pembiayaan peer-to-peer berbasis syariah.
Fintech Pembiayaan Peer-to-peer berbasis Syariah
Perusahaan fintech pembiayaan peer-to-peer bertindak layaknya marketplace untuk pembiayaan. Jika BukaLapak menyediakan platform bagi penjual dan pembeli untuk bertemu, fintech jenis ini menyediakan platform bagi pemilik uang dan peminjam uang untuk saling bertemu. Caranya, calon peminjam dapat “membuka lapak” mengenai kebutuhan mereka: berapa uang yang dibutuhkan, berapa lama, dan untuk apa. Sedangkan calon investor dapat melihat-lihat lapak-lapak tersebut untuk memilih peminjam yang akan dibiayai.
Dalam skema syariah, fintech akan menyediakan akad syariah antara pemilik dana dan peminjam. Bahkan jika kedua pihak setuju untuk menggunakan akad utang-piutang, yang dalam Islam artinya peminjam akan mengembalikan uang sesuai dengan jumlah uang dipinjam tanpa tambahan sama sekali.
Fintech tentu saja harus bisa menyediakan akad lain seperti sewa (ijarah) atau investasi macam musyarakah. Misalnya calon penjual abang bakso yang butuh modal untuk buka warung bisa mengajukan pembiayaan via fintech ini. Lalu kelas menengah agamis yang baik hati, bisa memilih antara memberikan pinjaman cuma-cuma tanpa bunga, menyewakan gerobak, atau berinvestasi ke warung bakso tersebut dengan skema bagi hasil.
Ini tentunya adalah solusi yang menyenangkan baik dari sisi perekonomian dan sisi agama. Si penjual bakso terhindar dari riba akibat meminjam dari bank atau lembaga pembiayaan lainnya. Investor juga terhindar dari riba yang bisa jadi diterima apabila menempatkan uangnya di bank konvesional.
Dari sisi ekonomi, fintech syariah bisa membantu menggerakkan ekonomi kecil, memberi pinjaman modal kepada mereka yang membutuhkan. Pengusaha level mikro seperti ini biasanya tidak dilirik oleh bank besar. Kalaupun ada bank kecil atau lembaga pembiayaan lain yang tertarik, biasanya akan membebankan bunga yang besar.
Apa yang Dibutuhkan?
Masih banyak yang perlu dicari solusinya atas ide saya di atas. Misalnya skema credit scoring untuk menentukan mana peminjam yang layak dibiayai mana yang tidak. Fintech pembiayaan peer-to-peer konvensional biasanya mengenakan bunga yang lebih tinggi untuk calon peminjam dengan nilai credit scoring yang jelek. Skema ini jelas tidak bisa diterapkan begitu saja untuk fintech syariah.
Setelah skema bisnis ketemu, langkah selanjutnya adalah mengecek compliance skema bisnis tersebut dengan hukum syariah. Seperti bank syariah, fintech syariah sepertinya perlu mempunyai pembina syariah untuk memantau bisnis fintech tersebut. Hukum yang menjadi pertanyaan misalnya, apakah akad bisa dilakukan secara online.
Kalau hal-hal tersebut di atas sudah ditemukan jawabannya, langkah selanjutnya adalah merekrut sejumlah programmer untuk membuat sistem yang mampu menangani skema bisnis yang sudah didefinisikan. Salah satu kunci kesuksesan fintech untuk menggoyang bisnis bank konvensional adalah dengan melakukan keseluruhan proses secara online sehingga mampu menekan biaya operasional. Sistem yang bagus tentunya dibutuhkan untuk itu.
Terkesan susah? Ga juga. Apabila tujuannya untuk menegakkanya agama sekaligus membantu menyejahterakan masyarakat kecil. Yang teriak-teriak anti riba itu bikin usaha nyata kayak ginian aja deh untuk berbuat nyata memberi solusi.
Saya? Duh, yang pertama saya nggak punya sumber daya-nya. Kedua, bikin ginian menimbulkan konflik kepentingan dengan kerjaan saya sekarang, pasti ga dibolehin kantor. Tapi saya membuka untuk diskusi lebih lanjut soal ide ini. Kalau pas ada duitnya, saya juga mau jadi orang yang pertama-tama investasi meminjamkan uang kalau beneran ada yang mau bikin fintech syariah.
Kamu gimana?