Tulisan ini adalah bagian pertama dari trilogi mengenai the Rising of Startup FinTech in Indonesia. Pada bagian pertama ini, saya mencoba melihat lebih dekat proses bisnis UangTeman dan menjelaskan kenapa bunga UangTeman sedemikian mahal.
Munculnya UangTeman, startup yang mau meminjami Anda uang, menimbulkan banyak respon yang umumnya negatif. Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan, dengan tega (namun jujur) bahkan menyebut UangTeman sebagai rentenir jenis baru yang memanfaatkan teknologi. Jika Anda meminjami saya uang dengan bunga 1% per hari, saya pun akan lebih suka memanggil Anda lintah darat daripada harus menyebut Anda dengan sebutan teman.
Bunga setinggi itu harus dikenakan oleh UangTeman karena walaupun seakan-akan mereka memanfaatkan teknologi, proses bisnis mereka sebenarnya tidak lebih bagus daripada proses bisnis bank tradisional. Meskipun pengajuan pinjaman dapat dilakukan secara online, untuk pinjaman pertama calon nasabah UangTeman tetap harus melakukan hal yang dilakukan oleh semua calon nasabah bank, datang ke kantor. Hal ini mengharuskan UangTeman membuat kantor cabang hingga di beberapa kota di mana mereka ingin beroperasi.
Masih perlunya proses tatap muka ini adalah kelemahan utama UangTeman yang mengaku berbasis teknologi. Kantor cabang berarti biaya sewa kantor, biaya pegawai, listrik, telepon, internet dan biaya-biaya operasional lainnya. Biaya overhead ini cukup mahal. Jika ingin bisa bersaing dengan bank tradisional, startup manapun harus bisa menghindari biaya ini dengan melakukan segalanya secara online.
Komponen biaya lain yang membuat bunga UangTeman mahal adalah biaya manajemen risiko. Sangat naif jika Anda meminjamkan uang dan percaya bahwa semua uang Anda akan kembali. Pasti ada beberapa orang yang gagal mengembalikan pinjaman Anda. Karena itu, UangTeman harus mencadangkan keuntungannya untuk meng-cover pinjaman yang gagal dibayar kembali tersebut.
Dalam kasus UangTeman, di mana proses persetujuan pinjaman dijanjikan lebih cepat dari bank tradisional, analisa terhadap nasabah dan latar belakangnya menjadi kurang mendalam. Akibatnya, risiko gagal bayar menjadi lebih besar. Biaya yang dicadangkan pun harus lebih besar dari bank tradisional.
Biaya manajemen risiko ini sebenarnya bisa ditekan dengan algoritma persetujuan kredit yang lebih baik. Siapa yang pantas dan tak pantas mendapatkan kredit harus ditentukan secara tepat. Dengan demikian, risiko gagal bayar dapat ditekan. Namun ini adalah dua sisi bertolak belakang, di satu sisi UangTeman dituntut untuk mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya, di sisi lain mereka harus pilih-pilih nasabah yang kira-kira benar-benar sanggup (dan mau) membayar kembali.
Kedua biaya ini, dapat dikurangi seiring berjalan waktu di mana UangTeman telah mendapatkan banyak nasabah. Nasabah yang melakukan pinjaman kedua tak perlu lagi datang ke kantor UangTeman. Selain itu, berdasarkan history pinjaman sebelumnya, UangTeman dapat melihat siapa yang pantas diberi pinjaman lagi, siapa yang perlu untuk ditolak.
Tetapi apakah UangTeman akan sampai ke tahap tersebut? Saya sendiri tidak terlalu yakin, terutama karena saya jenis orang yang suka pilih-pilih teman.
Berikutnya, bagaimana proses bisnis yang memungkinkan bunga yang lebih murah dari bank tradisional.
Muhammad Yusuf (MY), Noble Prize Winner in Bangladesh had a vision to give opportunities for the lower income group to become richer, not only monetary but also socially. New families for example, have been given the ability to become closer than before just as simple as putting a down payment for a motorbike – essentially a better lifestyle despite their earning capabilities.
MY had managed to turn the concept into building his own bank, and even politics as the nature of his business would bring attention to the media, however he charges 23% per month on average, despite the branches he has in Indonesia, which may be more.
Another question is Banks don’t loan for a sort tenure as low as Uangteman and requirements are much stricter which makes it more difficult for those that can’t service a loan for such a long time unable to pay back which affects their credit scoring.
There’s no such thing as a fool proof algorithm but that doesn’t mean that they operate with ONLY an algorithm to approve most loans.
Lastly, being careful equates to better social reform in my opinion, customers don’t need to go for a face to face loan interview in their office but that doesn’t necessarily mean that none is conducted in their premise, which to me is pretty friendly.