Artikel ini telah terbit di MediaIndonesia.com tanggal 18 November 2020.
TIGA bank syariah milik badan usaha milik negara (BUMN) akan merger. BNI Syariah, BRI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri secara legal akan bergabung pada Februari 2021. Dampak positif ke industri perbankan secara umum sangat jelas, yakni ada peningkatan peningkatan kestabilan. Sedangkan efek untuk ke perbankan syariah adalah, merger ini bisa menjadi loncatan perkembangan di Indonesia.
Proses konsolidasi ini sejalan dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Konsolidasi penting untuk memperkuat struktur perbankan, memacu inovasi, serta memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional. Untuk itu, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum pada Maret lalu. POJK tersebut mendorong bank-bank kecil untuk melakukan penambahan modal, merger, ataupun akuisisi untuk mencapai persyaratan modal minimal Rp3 triliun pada akhir 2022.
Dengan konsolidasi, jumlah bank akan mengalami penurunan. Menurut Widyastuti, dkk (2003), penurunan jumlah bank akan mengurangi tingkat persaingan. Sementara, pasar perbankan yang lebih terkonsentrasi dan memiliki tingkat kompetisi yang rendah, memiliki buffer dalam menghadapi kerentanan. Hal ini akan membuat kondisi perbankan yang lebih stabil.
Sampai dengan posisi Juni 2020, jumlah bank di Indonesia sebanyak 110 bank. Jumlah tersebut sudah berkurang dibandingkan posisi Desember 2010 sebanyak 120 bank. Konsolidasi yang telah dilakukan antara lain BTPN dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia. Juga serta Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan. Sementara, konsolidasi lain yang sedang berjalan adalah antara Bank Permata dan Bangkok Bank.
Konsolidasi bank kali ini menarik karena untuk pertama kalinya melibatkan bank syariah. Total aset bank hasil merger nantinya sekitar Rp245 triliun. Langsung menyodok atau termasuk 10 bank terbesar di Indonesia. Meskipun demikian, market share bank hasil merger nantinya masih relatif kecil dibandingkan dengan bank konvensional. Per Juni 2020, total pembiayaan gabungan ketiga bank tersebut hanya 2,86% dari total kredit industri perbankan. Dari sisi pendanaan, total dana pihak ketiga (DPK) hanya sebesar 2,72% dari total DPK industri perbankan.
Terjadi efisiensi
Merger ini dapat menjadi titik untuk peningkatan market share tersebut. Menurut Ascarya (2011), perbankan syariah di Indonesia mempunyai margin yang lebar dan cenderung fluktuatif. Sementara itu, margin yang tinggi berkorelasi dengan tingkat penyaluran kredit yang rendah. Hal ini menghambat pertumbuhan pembiayaan bank syariah. Dengan melakukan merger, bank dapat mencapai efisiensi untuk memangkas margin.
Hadad, dkk (2013) menggambarkan manfaat efisiensi yang akan dirasakan bank yang melakukan merger. Manfaat ini terutama dirasakan oleh bank milik pemerintah. Bank pemerintah secara umum memiliki skala inefisiensi di atas rata-rata industri. Dengan melakukan merger antara tiga bank pemerintah, dapat menghemat biaya sampai dengan 34%.
Efisiensi dan penghematan tersebut dapat ditransmisikan menjadi penawaran yang lebih baik untuk nasabah. Baik deposan maupun debitur dapat mengharapkan perbaikan harga dari bank merger. Focarelli (2003) mengungkapkan, nasabah deposan dapat menikmati suku bunga deposito 13 basis poin lebih tinggi pada tahun ketiga setelah merger.
Sementara itu, dampak merger terhadap suku bunga kredit telah diungkap dalam berbagai penelitian. Montoriol-Garriga (2008) mengungkapkan, nasabah mendapatkan rata-rata suku bunga kredit lebih rendah sebesar 4,9 basis poin pada tahun merger. Penurunan rata-rata suku bunga tersebut berlanjut pada dua tahun setelah merger. Pada tahun tersebut, rata-rata suku bunga kredit yang diterima nasabah lebih rendah sebesar 10,6 basis poin.
Namun demikian, efek efisiensi ini membutuhkan waktu untuk dapat dirasakan oleh nasabah. Menurut Focarelli (2003), perlu waktu setidaknya tiga tahun setelah merger agar penghematan biaya mulai berdampak. Ada beberapa alasan terkait hal tersebut. Pertama, bank hasil merger tidak serta merta dapat langsung memotong biaya operasional. Salah satu contohnya adalah usaha untuk mengkonsolidasikan kantor cabang yang beririsan. Bank merger membutuhkan waktu panjang untuk melakukan restrukturisasi cabang. Terlebih, apabila ada keengganan untuk mengurangi jumlah karyawan.
Kedua, kesalahan dalam memproyeksikan biaya merger jamak terjadi. Biaya yang sudah diantisipasi antara lain terkait dengan pesangon dan pemutusan kontrak. Namun demikian, bank merger seringkali melupakan biaya sinkronisasi remunerasi pada karyawan. Biaya ini cukup tinggi mengingat biasanya mengambil standar paling tinggi dari masing-masing institusi asal. Selain itu, kehilangan nasabah dalam masa konsolidasi juga dapat menimbulkan tambahan biaya sekaligus membuat proyeksi pendapatan menjadi tidak tepat.
Ketiga, menggabungkan dua atau lebih budaya kerja dari bank sebelumnya bukan usaha yang mudah dan merupakan sebuah proses panjang. Perbedaan gaya komunikasi, karakteristik nasabah, serta channel layanan dapat menghambat pembentukan identitas baru yang tunggal. Atas hal tersebut, perlu waktu untuk Mmembentuk sinergi sumber daya manusia pada bank hasil merger membutuhkan waktu.
Hasil bank hasil merger BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri ketiga bank syariah tersebut akan menjadi bank syariah terbesar, sekaligus memperoleh efisiensi. Mengingat posisinya sebagai market leader, penurunan margin yang dilakukan kemungkinan nantinya bakal bisa diikuti oleh bank syariah lain.
Hal ini berdampak positif bagi nasabah, baik nasabah yang ada saat ini maupun nasabah baru. Ini adalah salah satu harapan nyata nasabah. Pada akhirnya, diharapkan dengan hal tersebut, perbankan syariah dapat meningkatkan portofolio sekaligus market share di industri perbankan Indonesia.