Sekitar tiga tahun lalu, seorang teman bercerita tentang perjalanannya ke Derawan. Tentang danau yang dipenuhi dengan ubur-ubur yang tidak beracun. Teman saya itu bercerita dengan penuh semangat. Tetapi cerita tinggal cerita. Cerita itu sama sekali tidak membuat saya tertarik untuk suatu saat berkunjung ke Derawan. Bagi saya, perjalanan ke Derawan mirip-mirip dengan perjalanan Leo Di Caprio dalam the Beach. Saya tak punya cukup uang dan keberanian untuk melakukannya.
Dua alasan tersebut cukup untuk menjauhkan saya dari Derawan. Sampai minggu lalu, takdir membawa saya ke Tarakan, salah satu pintu masuk ke Derawan. Berarti alasan biaya gugur, karena setidaknya saya tak harus keluar tiket pesawat yang menjadi komponen terbesar biaya ke Derawan. Berarti tinggal satu alasan lagi dan pantang bagi laki-laki untuk mundur kalau sudah di depan pintu seperti ini.
Berangkatlah sudah saya ke Derawan dan dengan segera saya menemukan alasan ketiga untuk (seharusnya) tidak ke Derawan.
Perjalanan ke Derawan dari Pelabuhan Tengkayu II di Tarakan dijalani dengan naik speedboat kurang lebih tiga jam. Dari tiga jam itu, hanya setengah jam pertama yang dilalui dengan excitement: foto-foto, melihat laut, serta kagum dengan pulau atau kapal besar yang dilintasi. Selebihnya dapat digambarkan hanya dengan satu kata: traumatik.
Cuaca tidak bersahabat, arus laut bergelombang, bau bensin dari tangki perahu, serta nahkoda yang menjalankan kapalnya secara ugal-ugalan (setidaknya menurut saya) adalah komposisi yang pas untuk mabuk laut. Saya mencoba bertahan dengan terus mengingat-ingat bahwa pelaut ulung tidak lahir dari laut yang tenang. Masalahnya, saya sama sekali bukan pelaut. Nenek moyang saya yang pelaut, itu pun kata lirik lagu.
Bahkan, dalam usaha paling putus asa untuk mengalihkan konsentrasi dari perut yang mual, saya sampai mensitasi salah satu buku yang beberapa bagiannya saya hapal. Berulang-ulang. Pada titik itu saya sadar kenapa segala yang memabukkan itu haram. Mabuk itu sungguh tidak baik, teman-teman.
Setimpal
Lalu, dengan perjuangan seperti itu, apakah perjalanan ke Derawan setimpal?
Setimpal adalah kata yang sungguh relatif. Bagi banyak orang, sebungkus Beng-Beng tidaklah berarti banyak. Tapi bagi salah satu kakak kelas saya, sebungkus Beng-Beng sudah setimpal untuk menyembuhkan luka hati sehabis di-bully. Karenanya, saya sampaikan saja faktanya, Anda yang tentukan setimpal atau tidak.
Di Derawan, saya menginap di sebuah water cottage di atas laut. Airnya jernih, dasar laut beserta ikan-ikannya terlihat dengan jelas. Sesekali seekor sampai tiga ekor penyu hijau lewat dengan santainya.
Suasana surga makin terasa saat sore hari, muncul warna-warni setengah pelangi di langit biru. Menjelang senja, pemandangan matahari tenggelam menjadi objek yang wajib dicicipi oleh penggemar fotografi. Saat malam menyelimuti, ribuan bintang menemani, yang mustahil dilihat dalam polusi cahaya kota.
Menu puncak ada pada esok hari. Snorkeling di pulau Maratua, Kakaban dan Sangalaki. Kita melihat langsung keindahan bawah laut, yang biasanya hanya kita lihat di film Finding Nemo yang berulang-ulang disiarkan oleh Global TV. Warna-warni ikan laut sungguh memanjakan mata dibanding dengan warna biru MS Word dan hijau MS Excel yang kita lihat sehari-hari.
Dalam petualangan di danau air payau Kakaban, saya jadi teringat Spongebob dan Patrick si bintang laut dalam hobby mereka berburu ubur-ubur. Kita bisa berenang-renang mengejar ubur-ubur, hanya untuk menyentuhnya kemudian melepasnya lagi. Persis seperti yang dilakukan duo konyol itu.
Di pulau Sangalaki yang menjadi tempat bertelur bagi penyu, putihnya pasir pantai dan biru semi hijau air laut menjadi background yang tepat untuk foto profil BBM atau Whatsapp dan niscaya akan membuat iri teman-teman Anda. Kemudian ada juga sesi berfoto di pulau gusung, pantai pasir putih yang hanya terlihat saat air surut.
Saya sukses gosong sepulang dari Derawan.
Derawan jauh, itu pun masih naik perahu untuk menembus laut yang kadang tidak teduh. Tetapi, ada satu alasan lain lagi kenapa Anda tidak harus ke Derawan. Yaitu kalau Anda tidak paham kelestarian alam dan tidak tahu bagaimana cara menjaganya. Dalam salah satu momen perjalanan ke Derawan, saya membayangkan bahwa suatu saat tempat ini akan mulai memudar keindahannya. Alasannya terbesarnya, ya karena kita, manusia, berlomba-lomba ke sana namun tak tahu bagaimana bersikap dengan benar.
Ah, semoga itu hanya kekhawatiran bodoh saja. Mungkin karena saya terlalu khawatir saya akan mabuk lagi dalam perjalanan pulang.
Udah bolak balik ke Kalimantan, termasuk Tarakan, tapi belom pernah ke Derawan. hehe..
Tenang aja, Man. Itu naik perahunya pake pelampung kok. 😀