“Kalau kita ketemu dalam keadaan yang berbeda, kita bakal pacaran nggak ya?”
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul, meluncur begitu saja tanpa aba-aba darimu. Pertanyaan itu mengagetkanku setidaknya karena dua hal. Yang pertama, kamu sudah memecahkan sepi yang aku nikmati. Sepi yang tercipta semenjak kita berdua tiba. Aku memilih sunyi, kamu juga tak mengucap kata. Dinding yang mencoba menguping dari tadi hanya mendengar hening. Pertanyaanmu membuat sepi pecah berkeping.
Yang kedua, pertanyaan itu mengagetkan karena pertanyaan itu ada di urutan pertama, setidaknya ada di tiga besar dalam daftar pertanyaan-yang-tidak-boleh-ditanyakan-dalam-hubungan-kita. Saingan utamanya adalah “Apakah kamu sayang padaku?”. Sungguh pun berkali terlintas dalam pikiranku, tak ada berani aku menanyakannya padamu.
“Kamu nembak aku?”, jawabku.
Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain adalah sebuah cara berkelit yang cerdas, menurutku. Aku harus tahu posisimu terlebih dahulu sebelum aku menjawab pertanyaanmu.
“Ya enggak, Gus. Ini kan cuma andai.”
“Andai itu kemewahan yang nggak bisa kita punya.” Kalau saja andai itu ada, aku akan memilih andai kita tidak pernah bertemu.
Ada jeda darimu, jeda yang menyiksa. Aku takut salah bicara, takut membuatmu menyadari nyata. Aku masih ingin kita bisa berjalan berdua, memejamkan mata menutup telinga. Tak terganggu iri dari mereka yang dengki, namun juga tak terbelenggu oleh ragu.
“Kita kan udah kayak sepatu, Gus.”
“Selalu bersama, tak bisa bersatu maksudmu?”. Itu sebuah lirik lagu tentu saja. Sebuah lagu sederhana tentang cinta. Tetapi kita, sungguh sama sekali tidak sederhana.
“Karena banyak hal. Aku begitu kanan. Sementara kamu sangat, sangat kiri.”
Hahaha, kita begitu sering membahasnya. Kita adalah kumpulan segenap anti tesis berlawanan, kiri dan kanan, panas dan hujan, Venom dan Spiderman. Kalau kamu adalah putri raja, aku hanyalah anak kusir kuda. Saat kamu dipeluk kenyamanan, aku bergelut dengan kesulitan. Kamu diajari terbang dan menari di atas awan, sementara aku melompat dari dahan ke dahan.
Pun begitu kita tetap dipertemukan. Panas dan hujan ciptakan pelangi yang indah, katamu. Berdua, Venom dan Spiderman berhasil mengalahkan Carnage, kataku.
“Atau karena kita sering bersama-sama diinjak, diajak masuk ke comberan?”. Itu yang selalu aku katakan tiap kali kamu pamer sepatu mahal barumu. Buat apa beli mahal-mahal kalau toh kamu injak-injak juga.
“Sering lembur bareng, dimarahin bos bareng-bareng, jumpalitan karena kerjaan. Gitu kan maksudmu?”.
“Ya itu awal mula kita deket kan?”, aku mencoba membuatnya jelas.
Tak ada balas. Aku menyesal menggunakan kata “deket”, harusnya itu juga termasuk kata terlarang bersama dengan dengan cinta, sayang, keluarga, anak. Selama ini kata-kata itu aku hindari saat kita sedang berdua.
Kamu diam termangu. Hening yang ini mengganggu. Aku ingin memecahkannya, tapi aku memilih menunggu.
“Hidupku enggak kurang, Gus. Tapi adanya kamu melengkapi aku. Kalau aku tersandung, kamu akan menanggung beban kita agar kita tetap berdiri. Kalau kamu injak kotoran, aku yang dipakai untuk membersihkan.”
Aku jelas menolak analogi sepatu itu. Kita tak pernah satu kotak, tak juga satu rak, bahkan satu merk saja aku rasa kita tidak.
“Kalau lah kita adalah sesuatu, kamu adalah meja sempurna pada lantai yang tidak rata. Dan aku kertas yang jadi ganjelannya. Aku bisa jadi apa pun, ditulisi, jadi lap atau dibuang, tapi kebetulan aku yang ada saat kamu butuh ganjelan.”
“Jadi kita berjodoh kan?”
“Ya nggak gitu juga.”. Sepertinya ada yang salah tentang konsep jodoh di otakmu. Seperti kebanyakan isi otakmu yang lainnya yang tak sama dengan isi otak orang kebanyakan. Kamu misalnya, tidak menganggap segelas susu ditambah segelas Energen dan sebungkus biskuit sebagai sebuah sarapan.
“Coba sebutin orang dalam hidupmu yang kayak aku.”, tantangmu.
Sesungguhnya, aku sering melihat orang sepertimu datang dan pergi dalam kehidupanku. Ada banyak sebenarnya yang seperti kamu, tipe-tipe cewek yang dalam sekali lihat sudah cukup untuk membuat jatuh sayang. Tapi, kamu berbeda. Kamu..
“Kamu luar biasa jorok!”, teriakku saat kamu buang ingus di tisu lalu meletakkan tisu itu begitu saja di mejaku.
“Kamu cantik-cantik jorok.”, dengusku kesal.
“Jadi menurutmu aku cantik?”, kamu mendekatkan wajahmu ke wajahku, matamu menuntut jawaban yang memuaskan.
“Eh.”. Aku tercekat. Pertanyaanmu tadi benar-benar mengacaukan prinsipku tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan padamu. Juga tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan denganmu.
Tapi aku terkenal jago ngeles, aku pasti bisa keluar dari situasi ini.
“Yah, seenggaknya menurut orang-orang yang papasan sama kita tiap kali aku jalan bareng kamu.”. Setiap kali kita jalan bareng, aku selalu menangkap mata setiap pria yang papasan dengan kita. Mata mereka terperangkap pesona. Pesona yang kamu tebarkan bahkan tanpa harus melakukan apa-apa.
Kamu menarik diri, jelas kecewa. Sebagaimana pun aku mengakui kamu cantik, tak akan aku mengatakannya di depanmu. Lagipula, kelebihan terbesarmu justru adalah kamu nggak pernah merasa cantik lalu berbuat layaknya cewek-cewek cantik lainnya, ribet dan penuh jaim.
“Aku ingusan juga gara-gara kamu.”, kamu mengatakan itu sambil menyedot kuat-kuat seluruh ingus yang ada di lubang hidungmu. Aku curiga mungkin saja kamu menelannya.
“Kok nyalahin aku?”
“Sebelum ketemu kamu, aku nggak pernah hujan-hujanan.”
“Kamu nunggu sampai hujan berhenti?”
“Naik taksi. Tapi seringnya taksinya nggak ada dan aku nunggu sampai hujan berhenti.”
Kita tadi berdebat lama tentang apa yang seharusnya dilakukan saat terjebak dalam hujan. Aku, sebagaimana kebiasaanku, tentu saja bawa payung, tapi kita terjebak dalam situasi mirip fabel terkenal berjudul “The Miller, his Son and the Donkey” atau dalam hal ini, aku, kamu dan payung. Kita tidak menemukan cara yang tepat memanfaatkan payung itu. Ada empat pilihan, semuanya rawan cercaan.
Aku dan payung sedangkan kamu kehujanan, adalah tindakan yang sangat tidak jantan. Kamu menolak pilihan untuk memakai payung sementara aku kehujanan, karena bagaimanapun itu payungku. Sementara puluhan saksi mata membuat tak mungkin bagi kita berteduh dalam satu payung. Kita memilih pilihan terakhir dan paling bodoh dari semua pilihan, aku dan kamu berlarian dalam hujan, sementara payung ada dalam genggaman.
“Kalau tahu kamu bakal ingusan, aku nggak bakal ngajak kamu hujan-hujanan.”
“Kamu nggak akan ninggalin aku, Gus.”
Kamu dan aku tahu kalau kamu sepenuhnya benar.
“Masak?”
“Karena aku sepatu kanan dan kamu sepatu kiri.”
Ya, kita memang seperti sepatu. Kita melangkah searah tapi selalu terpisah, berdua menapaki walau kadang mendaki atau berduri. Bukan hak kita untuk bisa saling memiliki, justru perpisahan jadi sesuatu yang pasti.
“Suatu saat kita akan rusak.”
“Aku tahu. Rusak dan dibuang.”
“Aku akan dijahit, biar bisa dipakai lagi.”.
“Kalau kamu dijahit, aku juga mau. Biar kita bisa bersama sekali lagi.”
“Sekali lagi, kemudian mati.”
“Dan saat itu, aku akan senang ini pernah terjadi.”