dalam Berbagi Cerita

Surat Terbuka Untuk Sri

surat terbuka

Beberapa malam kemarin itu, Jono (sebut saja begitu) mengirim wasap kepada saya. Jono ini sejenis teman yang “unik”. Cuma muncul kalau lagi ada perlunya saja, entah mau ngutang atau ada perlu lain. A friend in need is a friend indeed, begitu kilahnya saat saya protes. Karenanya, saat saya terima pesan dari Jono ini, saya langsung tahu maksud dan tujuannya.

Jono meminta ketemu, yang saya iyain kemarin sore. Benar saja, tiada lain tiada bukan, si Jono ini memang mau minta tolong. Tak sekedar utang, yang dia minta kali ini lebih berat.

“Aku kepingin nikah, Jon.” (Entah kenapa, dari dulu saya dan Jono memang saling bertukar sapaan yang sama, Jon.)

Nah kan, saya bukan penghulu, bukan orang tuanya, bukan pula calon mertuanya, tapi Jono meminta tolong pada saya untuk menikahkannya. Ya jelas saya bingung.

Yang lebih bikin bingung, dia cuma mau dinikahkan dengan satu orang secara khusus. Mantan pacarnya. Mantan pacarnya yang sudah minggat sejak kapan tau. Entah masih hidup atau sudah mati, entah sudah kawin atau punya anak lima, lha gimana saya mau menikahkan mereka.

“Dirimu kan jago nulis, Jon.”, puji si Jono. Dipuji seperti ini, mau tidak mau membuat saya mendengarkan permintaan Jono dengan khusyuk.

“Kamu buatkanlah kawanmu ini surat terbuka, macam yang dibikin orang-orang itu.”. Sekarang memang lagi musim surat terbuka, tapi buat calon presiden, bukan buat mantan pacar. Tapi menurut Jono, itu sama saja. Calon presiden sekarang dan mantan pacarnya dulu itu sama-sama penuh gombal mukiyo.

“Mana tau Sri baca, lalu terharu, terenyuh, ingatlah dia pada cintanya yang dulu itu. Dia carilah diriku ini, berciumanlah kita dan kemudian kawin.”

Skenario Jono ini benar-benar absurd.

Sebagai blogger kurang terkenal, kemungkinan Sri kebetulan mampir blog saya dan membaca surat terbuka untuknya sungguh tak seberapa. Kalau pun saya kirim ke surat pembaca di koran nasional, mana ada redaktur yang cukup gila untuk memuat surat terbuka dari orang yang dikendalikan syahwat semacam Jono ini.

Apalah kemudian tulisan saya mampu membuat tulisan yang membuat Sri terenyuh dan terharu, macam yang Jono minta, sedangkan saya sendiri sudah lama tidak menulis surat untuk pacar orang, apalagi mantan pacar orang. Dan yang paling saya ragukan, ingatkah Sri akan cintanya pada Jono sedangkan Sri ini sudah bertahun-tahun minggat mencampakkan Jono.

Tapi Jono tetaplah Jono yang selalu membuat saya bersedia memberi utang pada dia. Begitupun kali ini, saya mau membantu Jono menuliskan surat terbuka untuk Sri karena rayuan Jono. Demi teman, dan frappucino grande, kata Jono.

Langsung saya iyakan. Iya, saya semurah itu, semurah frappucino grande.

Jadi dek Sri, kalo pun kamu baca, ini lah surat terbuka untukmu:

Dek Sri cah ayu,

Sejak aku tahu kamu dan aku kini tinggal di kota yang sama lagi,

Saya langsung protes, lha kamu tahu ini Sri sekarang di Jakarta. Si Jono cuma nyegir kuda. Itulah makanya dia minta saya tulis surat terbuka. Kemungkinannya besar dia bisa bertemu Sri lagi. Jono minta saya tidak protes lagi, cukup tulis apa yang dia katakan, tambahi di sana sini warna merah muda dan biru. Biar romantis sekaligus haru.

Dek Sri cah ayu,

Sejak aku tahu kita kini ada di kota yang sama lagi, aku bertanya-tanya, kapan kita ketemu lagi. Setiap aku ke toko buku, aku mengira mbak-mbak yang duduk ndhlosor di depan rak buku Mushasi-nya Eiji Yoshikawa itu kamu. Tapi mbak-mbak itu lalu noleh dan aku rasa itu bukan kamu.

Karena sebenarnya, dek Sri cah ayu, aku tak lagi ingat benar bagaimana wajahmu.

Aku tak ingat, kapan kita terakhir ketemu. Mungkin delapan, mungkin lima tahun yang lalu. Aku bahkan tak ingat benar, wajah siapa yang lebih terakhir aku lihat, wajahmu, atau wajah laki-laki yang melarikanmu. Yang aku ingat cuma satu, manis senyum bibirmu.

Dek Sri yang cantiknya ngalahin bidadari,

Aku kangen sama kamu. Kangen matamu yang selalu jernih, yang kamu bilang itu karena kamu selalu wudhu.

Lah, kalo gini ini namanya kamu yang nulis. Aku mau ngasih tambahan di mana coba, protes saya.

Tapi Jono cuma “Shhhh, shhh, Shhhh” sambil mencoba meletakkan telunjuknya di depan mulut saya.

Saya tak mampu lagi protes. Biarkan sajalah.

Nduk Sri yang kulitnya putih mewangi,

Adakah kamu juga kangen sama aku. Adakah kamu kangen sama yang kita lakukan di Ramadhan waktu itu, saat orang-orang berangkat tarawih dan saat orang-orang makan sahur. Atau yang kita lakukan di ruang tamu kosmu, siang hari yang panas di bulan suci itu.

Sungguh, saat mengetik bagian ini saya sangat ingin bertanya sama si Jono, emang apa aja yang kamu lakuin puasa-puasa, siang-siang, di ruang tamu kosan lagi. Tapi saya paham reaksi Jono nanti, pasti dia bakal membual besar tentang kejadian waktu itu. Mending saya tidak usah tanya, apapun yang mereka lakukan pasti bikin puasa mereka batal, seenggaknya pahalanya yang batal.

Untungnya, Jono juga sadar kalau paragraf yang barusan itu aneh. Hapus-hapus, ganti, katanya. Dan ini yang saya tunggu-tunggu, Jono mengucapkan mantra.

Do your magic, Jon!”. Dan saya mulai beraksi.

Dek Sri, yang kulitnya putih mewangi. Apa kabarmu sekarang? Sekarang lagi Ramadhan. Semoga Ramadhan ini ibadahmu bisa lancar, tidak seperti Ramadhanmu pas masih sama aku. Eh, tapi ini Ramadhan pertamamu di Jakarta. Semoga ibadahmu tidak terganggu macet dan lembur.

Dek Sri yang selalu di hati, sms-mu, Sri sayang Jono, masih aku simpan sampai sekarang. Sungguh aku percaya itu tak sekedar sms, tapi memang dari hatimu yang batu. Kalau lah kamu jujur waktu itu, dek Sri, aku yakin masih ada sisa sayang di hatimu kini.

Sisa yang sedikit itu, Dek Sri, bolehkah aku minta dalam segelas kopi dalam hangatnya tawa.  Karena sesungguhnya dek Sri, tak banyak lagi yang bisa kita lakukan tentang masa lalu itu selain menertawakannya. Dan sekali-kali, aku ingin menertawakannya dengan kamu.

Yang kangen sama kamu,

Jono.

Jono manggut-manggut, membaca tulisanku. Nah gini kan well, komentarnya. Surat ini dan segelas kopi bersama, pasti dek Sri inget lagi tentang cintanya yang dulu itu. Langsung di-posting, Jon!

Saya dan Jono berbincang-bincang sebentar sebelum cabut. Saya menunggu sekedar ucapan terima kasih dari Jono yang tak kunjung keluar. Ah, bagi teman lama, kadang-kadang terima kasih itu tak usah diucapkan, cukup tahu sama tahu saja apa yang perlu dilakukan.

“Eh, soal itu. Gini, Jon, kamu bayarin dulu ya. Tadi aku lupa ambil duit.”, kata Jono saat saya meminta bill pada mbak-mbak pelayan.

Jampes, cukup sudah. Diam-diam, saat Jono tak lagi memperhatikan, saya menambahkan satu paragraf lagi dalam surat terbuka untuk Sri ini.

NB : Tapi aku paling kangen sama susumu. Dulu pentilnya belum tumbuh benar. Apa kabar keduanya sekarang?

Tinggalkan Balasan untuk Andi Miftachul Batalkan Balasan

Tulis Komentar

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

    • Penulis stensilan macam 17tahun itu sekarang pasarnya sudah terbatas, mas Joe. Orang-orang lebih milih untuk nonton yang bisa gerak-gerak macam di situs jualan marmut-marmut lucu di xhamster.

      • kurang tepat kamu, chiell. selalu ada segmen di mana bacaan adalah pilihan utama ketimbang gambar gerakgerak; buktinya di situs semprot selalu saja ada cerbung baru 😎 maka ingatlah bahwa “selalu ada pasar untuk apa saja” 😈