Antara Perpustakaan, iJakarta, dan Gramedia

Tahun lalu, sempat mengemuka wacana pembangunan perpustakaan DPR. Perpustakaan dengan anggaran Rp 570 miliar tersebut, oleh pengusulnya diharapkan menjadi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara, mampu menampung hingga 600ribu buku, dan dengan model mengacu pada Library of Congress. Urgensi yang dikemukakan untuk pembangunan perpustakaan itu sungguh klasik: untuk mencerdaskan bangsa. Negara susah maju karena enggak doyan buku, begitu kata Akom, ketua DPR waktu itu.

Kalau perpustakaan itu jadi dibangun, apakah dengan serta merta masyarakat Indonesia akan jadi doyan buku? Enggak, menurut saya. Bagi masyarakat Jakarta saya, akses ke perpustakaan tersebut akan sama susahnya dengan akses terhadap pintu tol JCC deket DPR situ. Susah karena macet. Kalau cuma untuk baca satu dua buku, lebih mudah bagi masyarakat Jakarta untuk datang ke Gramedia terdekat lalu beli buku yang dimaksud.

Apalagi bagi masyarakat daerah. Biaya untuk ke Jakarta-nya bisa jadi malah lebih mahal daripada biaya untuk beli buku yang ingin dibaca. Kalau beneran mengacu pada Library of Congress di mana buku koleksinya tidak bisa dipinjam untuk dibawa pulang, maka masyarakat daerah harus nginep di Jakarta kalau mau baca buku sampai selesai. Cerdas.

Solusi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang lebih tepat justru dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI. Mereka menyediakan buku-buku koleksinya untuk diakses secara online dari mana saja melalui aplikasi bernama iJakarta. Melalui aplikasi itu, semua orang di mana saja dan kapan saja bisa meminjam buku secara online.

all-temps-small Lanjutkan membaca

Menjadi Hantu dalam Buku

dream

Ini sebuah pelajaran penting untuk Anda yang jago menulis: jika Anda tidak menulis sendiri buku Anda, mungkin orang lain akan menyewa Anda untuk menulis buku mereka. Dan Anda hanya akan menjadi hantu dalam buku itu, seorang ghostwriter.

Tak usah lagi mempermasalahkan tentang etika seorang ghostwriter. Mungkin bisa menjadi pemahaman Anda bahwa mempunyai ide untuk sebuah buku adalah satu hal, sedangkan menulis buku adalah hal yang lain lagi.

Di dalam gedung-gedung tinggi di daerah Sudirman-Thamrin sana, banyak karyawan yang terkadang dalam waktu sibuknya bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa saya di sini? Kenapa saya tidak memanfaatkan keterampilan menulis saya? Alih-alih menulis laporan yang membosankan tiap minggu, mungkin saya bisa menulis satu novel dan menjadi terkenal. Saya janji tidak akan membunuh banyak tokoh novel saya seperti yang George R. R. Martin lakukan.. Lanjutkan membaca