Popularitas beberapa mata uang kripto meroket pada awal tahun 2021. Hal ini dipicu adanya ketertarikan institusi besar dan individu terkenal terhadap mata uang kripto terutama Bitcoin. Peningkatan popularitas tersebut disertai dengan peningkatan nilai secara signifikan. Publik pun mulai melirik aset ini untuk investasi.
Tesla, produsen mobil listrik, memulai sensasi ini ketika mengumumkan pembelian Bitcoin setara Rp 21 triliun. Selanjutnya, Tesla juga berencana menerima pembayaran dalam bentuk Bitcoin. Elon Musk, pemilik Tesla yang juga semacam selebritas di dunia teknologi, juga beberapa kali menunjukkan dukungannya terhadap mata uang kripto lain, DogeCoin.
Dampaknya, sepanjang Februari 2021, Bitcoin beberapa kali memecahkan rekor harga termahalnya. Pada saat tulisan ini ditulis, harga Bitcoin sekitar Rp 722 juta atau sudah naik 70% pada tahun 2021 ini saja. Mata uang kripto lainnya juga mempunyai nasib yang serupa. Nilai Ethereum mengalami kenaikan hingga 150% (ytd). Dogecoin, meskipun nilainya masih di bawah 1 USD, naik hampir 10 kali lipat sejak akhir tahun.
Reli kenaikan harga yang gila-gilaan ini mengundang investor untuk ikut serta mendulang untung terutama pada Bitcoin. Market share Bitcoin mencapai 60% dibandingkan semua mata uang kripto dengan tren yang meningkat. Namun demikian, berkaca pada kejadian pom-pom saham oleh influencer, perilaku investasi ikut-ikutan perlu dihindari. Investor harus tahu dan memahami karakteristik instrumen investasinya.
Bitcoin sebenarnya dirancang sebagai sebuah mata uang layaknya Rupiah atau Dollar. Bedanya, Bitcoin merupakan mata uang sepenuhnya digital sebagai alat tukar untuk transaksi online.
Fitur utama Bitcoin adalah transaksi dilakukan tanpa adanya pihak ketiga atau perantara. Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan basis data terdesentralisasi yang disebut dengan blockchain. Basis data ini menyimpan seluruh transaksi Bitcoin sejak pertama kali sampai posisi terkini. Dengan demikian, dapat ditelusuri catatan siapa (dalam bentuk alamat digital) memiliki berapa Bitcoin.
Yang istimewa, blockchain tidak disimpan oleh satu otoritas khusus. Hampir semua pengguna Bitcoin menyimpan salinan identik yang paling update. Pengecekan dan otorisasi sebuah transaksi dilakukan dengan penulisan blok baru pada seluruh blockchain. Skema ini membuat transaksi Bitcoin dapat dilakukan tanpa perantara, sekaligus nyaris real time dan hampir tanpa biaya transfer.
Hanya saja, sebagai mata uang, Bitcoin tidak ideal karena mempunyai fluktuasi harga yang sangat tinggi. Sebagai gambaran, berdasarkan data BarChart harga Bitcoin meningkat lebih dari 18% pada 8 Februari 2021. Di sisi lain, pada 11 Januari 2021, harga Bitcoin terdepresiasi hingga 14% dalam waktu satu hari. Papavassiliou (2019) menyebut fluktuasi harga Bitcoin disebabkan tiga hal: tidak adanya nilai intrinsik, tidak adanya pengaturan dan pengawasan, serta tipisnya order book.
Bitcoin tidak memiliki nilai fundamental atau nilai intrinsik seperti emas. Akibatnya, sulit untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi harga Bitcoin. Sebagai perbandingan, emas dikenal sebagai aset safe haven yang akan naik nilainya saat kondisi global dianggap bermasalah.
Secara desain, Bitcoin memang dirancang untuk self-regulated tanpa ada campur tangan otoritas tertentu. Hal ini menyebabkan kestabilan harga Bitcoin tidak bisa dikontrol oleh pengaturan dan pengawasan. Di pasar saham, Bursa Efek Indonesia sebagai otoritas menetapkan auto-reject bawah (ARB) untuk mencegah nilai saham turun lebih dari 7% dalam satu hari.
Sedangkan tipisnya order book antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi kepemilikan Bitcoin. Berdasarkan data distribusi Bitcoin oleh BitInfoCharts, 94,85% total Bitcoin dikuasai oleh 2,27% pengguna. Sedangkan sisanya (lebih dari 97% pengguna), hanya memiliki kurang dari 1 Bitcoin. Akibatnya, transaksi yang dilakukan oleh pemilik besar Bitcoin dapat secara signifikan mempengaruhi harga Bitcoin.
Di sisi lain, fluktuasi tersebut dinilai sebagai peluang oleh beberapa orang untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan trading. Bahkan menurut Baur, dkk (2017) sepertiga pemilik Bitcoin merupakan investor yang hanya menyimpan dan tidak menggunakan sebagai alat bayar. Hanya sebagian kecilnya, baik dari sisi jumlah pengguna dan jumlah Bitcoin yang dimiliki, menggunakan Bitcoin selayaknya mata uang.
Dengan harga yang tidak stabil, Bitcoin mempunyai risiko yang sangat tinggi dan tidak cocok bagi investor konservatif. Otoritas di berbagai negara memberikan peringatan relatif serupa: silakan lakukan dengan risiko ditanggung sendiri. Bahkan, otoritas Inggris (Financial Conduct Authority) telah memberikan peringatan agar investor hanya berinvestasi pada Bitcoin dengan uang yang siap hilang seluruhnya.
Di luar masalah keuangan dan investasi, Bitcoin juga mempunyai isu terkait etik dan lingkungan. Bitcoin terkenal sebagai mata uang kejahatan. Sifat transaksi Bitcoin yang anonim banyak dimanfaatkan untuk pembayaran tindak kriminal seperti narkoba, ransomware, hingga pembunuh bayaran. Selain itu, Bitcoin juga ideal sebagai alat pencucian uang serta penghindaran pajak.
Selain itu, kemakmuran melalui Bitcoin dibayar dengan dampak kepada lingkungan. Kegiatan penambangan Bitcoin mengkonsumsi listrik yang sangat tinggi. Dalam penelitian oleh Cambridge University (2021), konsumsi listrik Bitcoin dalam setahun sebesar 121,36 Terawatt Hours (TwH). Jumlah tersebut lebih tinggi dari konsumsi listrik tahunan negara Argentina. Dengan adanya masalah ini, “harga” penggunaan Bitcoin bisa jadi lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi dalam bertransaksi.
Bitcoin mengalami perubahan fungsi dari dari alat bayar menjadi aset investasi. Namun demikian, Bitcoin mempunyai fluktuasi harga yang sangat tinggi dan tidak terprediksi. Penempatan pada Bitcoin cenderung lebih cocok disebut spekulasi dibandingkan dengan investasi.