dalam Berbagi Cerita

Banyuwangi, Gadis Ayu Menarik Hati

Banyuwangi dapat dengan mudah digambarkan sebagai seorang gadis ayu yang sekali waktu kita temui dalam jalan-jalan ke sebuah kampung atau desa. Dalam sekali pandang, si gadis langsung mempesona dengan kecantikannya yang sederhana, enggak neko-neko walau bahkan tanpa make up. Setelah satu dua ucap mengobrol, si gadis semakin mempesona dengan keanggunan yang tiada matre, sungguh berbeda dengan cewek gaul kota yang banyak tersedia di mall-mall.

Itu kesan yang saya tangkap saat mengunjungi kota Banyuwangi di sisi paling Timur pulau Jawa. Jalan-jalan bersih, rapi, dan tertib. Tak ada pedagang kaki lima, tak ada macet, tak ada pula anak jalanan atau pengamen. Warganya ramah luar biasa hingga tiap kali berinteraksi dengan mereka, membuat saya ingat betapa brutalnya tingkah laku saya semenjak lama tinggal di ibukota.

banyuwangi

Ini kota di mana Anda bisa menemukan anggaran pendapatan dan belanja daerah dipajang besar-besar di baliho di pusat kota. Di kota ini pula, Anda akan menemukan baliho yang isinya rencana kegiatan dan festival kota sepanjang satu tahun penuh. Berbekal berbagai festival tersebut, pemerintah daerah berusaha menarik wisatawan untuk menghidupi kotanya. Apa yang saya lihat tersebut, ditambah kesaksian oleh warganya sendiri, benar-benar menunjukkan apa yang bisa dilakukan sebuah kota bila pemimpinnya benar-benar bekerja.

Tak hanya cantik secara fisik, Banyuwangi pun pandai bermain dengan lidah. Seni olah rasa oleh kota tersebut (walaupun sebenarnya agak aneh) adalah sebuah petualangan tersendiri. Sebelum ke Banyuwangi, satu-satunya kesempatan di mana Anda mungkin mencampurkan dua hidangan sekaligus mungkin adalah saat hadir dalam sebuah resepsi pernikahan yang saking ramainya, Anda terpaksa mencampurkan sate dan bakso sekaligus agar bisa menikmati keduanya.

Di Banyuwangi, jurus mencampur makanan ini justru menjadi andalan. Yang paling terkenal adalah pecel rawon. Sebuah hidangan di mana segarnya pecel lengkap dengan bumbu kacang, disiram dengan kuah hitam rawon plus empal daging yang empuk. Rasanya? Saya bukan orang yang tepat untuk menggambarkan rasa, tapi satu kata yang dengan tepat bisa menggambarkan pecel rawon adalah “cocok”.

Pun begitu dengan rujak soto. Ini hidangan rujak cingur khas Jawa Timuran dicampur kuah soto babat atau soto kikil. Kabarnya untuk kuliner yang satu ini, Banyuwangi bahkan pernah punya festival-nya sendiri. Beberapa orang yang saya temui di Banyuwangi, langsung menyebut nama rujak soto sebagai saran kuliner yang harus dicoba di Banyuwangi. Rasanya? Cocok.

Namun kuliner yang paling menggambarkan Banyuwangi adalah sego tempong. Tempong punya arti nampol, menampar. Sajian sego tempong berupa nasi dengan lauk pauk tempe, tahu, ikan asing, dan terong, ditambah dengan lauk yang bisa kita pilih seperti ayam, ikan, telur dan sebagainya. Sajian ini memperoleh namanya dari sambelnya yang nampol alias pedes banget. Sambel sego tempong ini mewakili keseluruhan cita rasa Banyuwangi yang berselera pedas asin. Rasa pedas asin terasa dalam hampir semua kulineran Banyuwangi.

Serunya, meski salah satu sumber kehidupannya berasal dari pariwisata, Banyuwangi ini sama sekali tidak matre. Makan sego tempong berempat masing-masing lengkap dengan lauk pauknya dan minuman, cukup bayar selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai. Iya, meskipun jelas gaya kami kantoran dan beberapa jelas tidak bisa bahasa Jawa, bayar ya cuma segitu aja. Makan di tempat lain pun tiada beda, murah dan sederhana.

Tiket masuk ke tempat wisata pun begitu. Untuk masuk ke pantai Blimbingsari dan pantai Boom, satu mobil hanya ditarik tiga ribu Rupiah. Sedangkan untuk masuk dan berekreasi ke kawah Ijen per orang hanya perlu membayar tiket lima Ribu Rupiah.

Tapi jangan salah. Meskipun tidak matre, si gadis ayu bernama Banyuwangi ini sungguh tidak mudah ditaklukkan. Sebut saja berbagai jurus playboy kota (yang tersebar mulai dari Stasiun Kota sampai dengan Kota Wisata), tak ada yang dapat dengan mudah membuat gadis ayu tunduk dan tertakluk. Contoh nyata datang dari tantangan Kawah Ijen.

Kawah Ijen terkenal dengan Blue Fire-nya, nyala api berwarna biru yang berasal dari belerang yang terbakar. Blue fire ini hanya terlihat saat malam hari, jadi waktu yang paling tepat untuk mendaki ke kawah Ijen agar dapat menikmati salah satu fenomena alam langka ini adalah saat tengah malam. Sayangnya, tantangan ini tidak dapat saya jalani. Saat saya berkunjung ke Banyuwangi, curah hujan yang tinggi membuat produksi gas beracun meningkat. Untuk keamanan, pengelola setempat memilih untuk menutup sementara Kawah Ijen dari pendakian malam hari.

Tantangan Kawah Ijen itu akhirnya saya terima esok paginya. Jam7 pagi berangkat dari Banyuwangi. Hanya ratusan meter permulaan pendakian, saya langsung menyesali kenapa saya hanya sarapan setangkup roti. Sudut pendakian yang lumayan tajam ditambah dengan udara yang tipis, langsung membuat saya berkunang-kunang hanya dalam ratusan meter. Padahal dari pos pendakian sampai dengan Kawah Ijen jaraknya kira-kira tiga kilometer.

DSCF4757

Tolong abaikan gangguan di tengah foto di atas

Demi rasa gengsi kepada ibu-ibu setengah baya dan anak-anak kecil yang saya temui sepanjang pendakian, tiga kilometer itu baru bisa ditaklukkan satu setengah jam kemudian. Sungguh tidak mudah. Tetapi hasil yang didapat sangat tidak mengecewakan. Bahkan saat sebenarnya saya mendaki pada waktu yang tidak terlalu tepat: terlalu siang sehingga mendung dan kabut menyelimuti. Udara bebas polusi, hutan di kanan kiri jalur pendakian, serta pemandangan hijau toska kawah Ijen adalah sebuah anugrah dibandingkan dengan warna warni layar monitor dan empuknya kursi kerja yang saya nikmati sehari-sehari.

Wisata Spiritual Ijen

Pendakian Kawah Ijen juga menyajikan sebuah wisata spiritual. Sepanjang pendakian, kita bertemu dengan penambang belerang. Entah sedang sedang menggotong belerang yang mereka tambang atau sedang beristirahat. Jangan mengecilkan penambang yang beristirahat meski mereka ada di jalan yang menurun. Beban yang mereka bawa dalam pikulan itu bisa jadi lebih berat daripada seorang laki-laki dewasa. Ada yang sekitar 60-70 kilo, bahkan ada yang sampai 90 kilo.

Sedihnya, per kilo yang mereka bawa hanya dihargai sekitar delapan ratus rupiah. Bahkan jika mereka mengangkut hingga 100 kilogram uang yang mereka dapat hanya delapan puluh ribu Rupiah. Menurut para penambang tersebut, rata-rata mereka mendapat uang sekitar seratus ribu Rupiah per hari.

penambang belerang

Penambang Belerang, salah satunya palsu

Seratus ribu Rupiah per hari dengan pekerjaan yang literally berat. Kondisi lingkungan kerja pun yang berbahaya: jalan tanjakan dan turunan curam serta gas belerang beracun. Rasanya laporan yang harus kita buat tiap bulan menjadi sama sekali tidak ada apa-apanya. Tips: foto salah satu penambang dan cermati tiap kali Anda ingin mengeluh tentang pekerjaan Anda.

Selain tak mudah ditaklukan karena beratnya medan, gadis ayu yang satu ini menyimpan banyak sisi yang dapat dieksplorasi. Selain kawah Ijen di gunung, wisatawan bisa langsung belok ke pantai. Pantai berderet dari pinggir selat Bali sampai ke sepanjang pinggiran Samudra Hindia. Beberapa pantai cukup dekat dengan kota, seperti pantai Boom, tapi potensi keindahan sesungguhnya berjarak beberapa jam dari kota.

Sayangnya, karena cuma punya waktu sedikit hanya dua pantai tersebut di atas yang sempat saya kunjungi.

Padahal ada pulau Tabuhan dan pulau Menjangan yang terkenal sebagai situs snorkeling yang patut dikunjungi. Kemudian ada pantai Merah yang disebut sebagai Kuta-nya Banyuwangi. Ada juga G-Land, pantai yang terkenal dengan ombaknya yang menjadi surga para surfer. Anda yang bermimpi menjadi Leo di Caprio dalam the Beach, bisa mencoba mengunjungi Teluk Ijo.

Bosan dengan pantai dan gunung, ada taman nasional. Mulai dari Alas Purwo tempat tinggal Banteng Jawa, tak jauh dari G-Land. Ada juga Taman Nasional Meru Betiri yang dikenal sebagai tempat tinggal Harimau Jawa terakhir. Sementara di sebelah utara, ada taman nasional Baluran dengan sabana yang luas sehingga terlihat sebagai Afrika-nya pulau Jawa.

Akses Relatif Mudah

Banyaknya tempat menarik yang belum saya kunjungi, membuat saya diam-diam berjanji dalam hati, akan mengunjungi lagi gadis ayu ini suatu saat nanti. Lagipula, akses ke Banyuwangi sama sekali tidak sulit. Darat, laut, dan udara sebut saja semua ada. Bis dan kereta api dari Solo/Jogja atau pun Surabaya melalui Banyuwangi setiap hari. Sedangkan jika berminat lewat laut, pelabuhan Ketapang yang terkenal itu hanya berjarak satu jam perjalanan laut dari pelabuhan Gilimanuk di Bali.

Yang paling menarik adalah cerita tentang akses udara ke Banyuwangi. Kabarnya, untuk menarik Garuda Indonesia agar mau menyinggahi Banyuwangi, sang Bupati melobi sendiri maskapai plat merah tersebut ke Jakarta. Hasilnya, saat ini Garuda Indonesia setiap hari terbang ke Banyuwangi dengan menggunakan pesawat ATR dari Surabaya dan Denpasar.

Satu hal lain lagi yang membuat iri kepada Banyuwangi adalah bagaimana cara pemimpin daerah memperlakukannya. Bupati-nya sadar betul akan potensi Banyuwangi, merawat dan menjualnya dengan cara yang tepat. Turis yang mengalir, menggerakkan juga turbin ekonomi setempat.

Yang perlu dijaga adalah bagaimana agar si gadis ayu tak tercemar oleh tangan-tangan yang menjamahnya. Tangan-tangan itu bisa mengubah budaya, setidaknya mengubah perilaku hingga menjadi matre dan liar. Semoga tidak. Semoga Banyuwangi bisa tetap terjaga sebagai gadis ayu sederhana nan selalu menarik hati.

NB: Jurnal ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Jurnal Perjalanan dari Tiket.com dannulisbuku.com #MenikmatiHidup #TiketBaliGratis 

Tulis Komentar

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

  1. Tulisan bagus mas… Mengalir serta tak membosankan. Seperti Banyuwangi yang ayu yang juga tak pernah membosankan kalau dipandang hehehe…

    Salam kenal dan hangat dari Kairo. Terima kasih sudah menuliskan indahnya kota tempat saya dibesarkan.