Dua tahun sejak ramai diperbincangkan, tampaknya perkembangan Bitcoin di Indonesia masih “gitu-gitu aja”. Startup mengenai Bitcoin memang bermunculan, termasuk masuknya beberapa startup dari luar negeri. Namun, sepanjang tahun 2015 kemarin, berita terbesar tentang Bitcoin adalah saat dijadikan permintaan tebusan pada peristiwa pengeboman Mall Alam Sutra.
Boleh jadi, hal tersebut terjadi karena startup-startup di Indonesia terlalu fokus pada Bitcoin, bukan pada dasar teknologi yang digunakan. Startup di Indonesia masih berkutat pada dua hal: penukaran Bitcoin dan pembayaran dengan Bitcoin. Padahal, ada yang lebih menarik pada Bitcoin yakni tentang blockchain dan konsep blockchain itu sendiri.
Blockchain adalah sebuah database yang tersebar tentang siapa memiliki berapa Bitcoin. Database tersebut mengkonfirmasi dan memverifikasi kepemilikan Bitcoin sebelum transaksi dilakukan. Karena database tersebut disimpan oleh banyak orang yang terlibat dalam Bitcoin, campur tangan dari otoritas sama sekali tidak diperlukan. Blockchain memungkinkan orang yang tidak saling mengenal, bisa saling percaya dan bertransaksi tanpa kehadiran otoritas.
Bukan Bitcoin, tetapi blockchain ini yang berpotensi melakukan lebih di masa mendatang.
Contoh yang pernah terjadi sebelumnya adalah almarhum Napster (semoga rahmat Tuhan selalu tercurah atasnya). Napster mulai online sejak tahun 1999, menawarkan platform untuk melakukan sharing file melalui internet dengan teknologi peer-to-peer. Napster sangat bermanfaat, menawarkan jutaan file musik kepada penggunanya, yang membuatnya ilegal. Meskipun Napster sendiri akhirnya ditutup, namun teknologi peer-to-peer yang dirintis oleh Napster kini digunakan oleh banyak layanan lain secara legal seperti Skype (untuk komunikasi) dan Spotify (untuk streaming musik). Teknologi peer to peer tersebut, secara tidak kebetulan juga digunakan oleh Bitcoin.
Di Indonesia, kebanyakan urusan yang menyangkut banyak orang diatur oleh otoritas. Contoh paling gampang adalah otoritas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN inilah yang memiliki catatan siapa memiliki tanah di mana dan berapa luasnya. Setiap transaksi jual beli dilakukan, keabsahan atas sertifikat tanah yang dimiliki penjual harus dipastikan terlebih dahulu lewat BPN.
Sayangnya, dengan skema seperti itu, agraria masih menjadi salah satu masalah di negara ini. Kasus sertifikat ganda masih terjadi, bahkan ketika BPN mengaku telah mengikuti prosedur. Belum lagi masalah jangka waktu pengurusan sertifikat tanah yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Selain tanah, banyak hal lain yang bisa diperbaiki dengan database tersebar ala Bitcoin. Pencatatan kepemilikan obligasi, barang-barang seni, logam mulia, atau barang-barang berharga lainnya. Hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara: menggunakan blockchain milik Bitcoin atau dengan membangun database tersendiri dengan cara kerja mirip dengan blockchain.
Salah satu contoh penggunaan blockchain untuk pencatatan aset berharga dilakukan oleh Colu. Startup asal Israel ini berhasil menemukan mekanisme untuk “mewarnai” sejumlah kecil Bitcoin sehingga bisa merepresentasikan sebuah aset, misalnya tiket. Dengan memanfaatkan karakteristik blockchain, panitia dapat memproduksi tiket, mendistribusikannya, memantau distribusinya pada tangan ketiga dan seterusnya, serta mencegah tiket tersebut digunakan dua kali. Semua dilakukan secara digital, sehingga biaya yang ditimbulkan menjadi lebih murah. Selain itu, keabsahan tiket bisa dipastikan dengan database tersebar dan mandiri, blockchain.
Tak cuma tiket, engine Colu juga bisa diterapkan pada beberapa hal lain seperti kupon, aset keuangan, musik hingga mobil.
Usaha serupa, namun tak sama dilakukan oleh EverLedger. Saat membeli emas, biasanya orang akan menemukan sertifikat keaslian untuk membuktikan kepemilikan sekaligus keaslian emas tersebut. EverLedger membuat sertifikat serupa untuk berlian, bedanya sertifikat tersebut dalam bentuk digital dengan memanfaatkan blockchain.
Bedanya dengan tiket seperti yang dilakukan Colu, berlian dapat berubah bentuk karena dipotong atau dibentuk ulang. Karena itu, Everledger tak hanya menyimpan data berlian tersebut dalam bentuk serial ID dan nama pemiliknya, namun juga beserta dengan metadata lainnya seperti karat, potongan, ukuran, sudut potongan, dan sebagainya. Data-data tersebut disimpan dalam blockchain, sehingga penelusuran atas kepemilikan dan sumber dari berlian tersebut dapat dilakukan dengan mudah.
Sedangkan pemanfaatan blockchain Bitcoin yang sedikit lebih kompleks dilakukan oleh sebuah proyek bernama LightHouse. Proyek ini memanfaatkan karekteristik blockchain di mana hadiah Bitcoin untuk penambang yang menyelesaikan suatu blok, baru diberikan setelah beberapa blok baru lainnya ditambahkan ke blockchain. Blockchain mampu menahan sebuah transaksi, sampai dengan syarat terjadinya transaksi tersebut dipenuhi.
Karakteristik tersebut dimanfaatkan untuk membuat smart-contract di atas blockchain. Pembayaran akan dilakukan jika aktivitas yang menjadi persyaratan telah terpenuhi. Dalam kasus LightHouse, hal tersebut adalah usaha pengumpulan dana semacam Kickstarter. Jika pendanaan berhasil terkumpul sesuai target, maka seluruh uang akan ditransfer. Namun jika gagal mencapai target, tak ada transaksi yang terjadi.
Dengan menggunakan blockchain, LightHouse mengklaim bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih murah. LightHouse juga mengadopsi anarki tanpa otoritas dari Bitcoin. Dengan menggunakan blockchain, semua transaksi dilakukan secara otomatis. Tidak akan terjadi, misalnya, pendanaan yang dibatalkan tiba-tiba karena otoritas menganggap hal tersebut di luar ketentuan.
Dengan proyek-proyek seperti itu, bukan hanya bank yang harus mengkhawatirkan blockchain, tetapi juga hampir semua bisnis yang berfungsi sebagai pihak ketiga yang terpercaya seperti misalnya jasa kustodian, kenotariatan, bahkan mungkin hingga jasa sertifikat SSL.
Fanatik Bitcoin mungkin masih terpesona dengan kilau Bitcoin, padahal bisa jadi Bitcoin tak lebih dari sekedar keingintahuan. Emas sebenarnya ada pada blockchain yang bisa menjadi jaminan kepercayaan – sesuatu yang dibutuhkan dalam setiap transaksi.
Disadur dengan perubahan dari: The Economist.
Sumber Gambar : The BlockChain.