Kearifan Kecap Lokal

Salah satu oleh-oleh mudik yang cukup sering saya bawa dari Kudus adalah kecap. Kecap bukan sembarang kecap, tapi Kecap No. 1 cap THG. Saya tahu kalau semua kecap memang mengaku sebagai yang nomor satu. Tapi bagi lidah saya, kecap ini memang nomor satu. Mulai dari sejak kuliah di Yogyakarta hingga lebaran yang baru saja berlalu, saya beberapa kali membawa sebotol kecap ini ke perantauan.

Di luar Kudus, kecap THG memang tidak mudah untuk ditemukan. Kemungkinan karena rasanya tidak terlalu cocok dengan selera kebanyakan orang. Kecap THG kental dan manis, yang bagi banyak orang (orang Jawa sekalipun) mungkin terlalu manis. Hanya orang Kudus yang merasa cocok dengan rasa manis ini. Mungkin saja, ini sekedar pendapat, bisa jadi benar bisa juga ngawur: rajin mengkonsumsi kecap ini sejak kecil adalah rahasia kenapa saya manis banget.

Sepanjang ingatan saya, kecap ini selalu dipakai oleh keluarga saya. Membawa kecap THG ke perantauan adalah salah satu cara sederhana untuk bisa merasakan “rumah”. Sekedar tempe, tahu, atau telur ceplok, dengan nasi dan kecap ini, adalah kehangatan bagi mereka yang merindu.

Kecap THG Kudus

Lanjutkan membaca

Mengakali SMS Penipuan

“Selamat no anda mndpt hadiah mobil ALLNEW SIENTA dr LAZADA PIN:1JH76KT9 Info klik:www.kejutanlazada72.blogspot.com

Dalam satu kerlingan, normalnya orang akan langsung tahu bahwa SMS tersebut adalah sejenis penipuan. Lazada tidak mungkin menggunakan domain gratisan semacam blogspot untuk mengumumkan hadiah kejutannya. Seringnya, SMS seperti itu akan langsung diabaikan oleh penerimanya.

Kejanggalan lebih banyak ditemukan dalam situs blogspot penipu itu. Simak kalimat-kalimat ini:

“…UUD No.32 Pasal 331 Ayat 23, Tentang Kecemburuan Sosial Sesama Masyarakat…”

“..untuk pencairan hadiah dari LAZADA melalui BANK INDONESIA…”

Hadiah diantarkan langsung ke alamat pemenang melalui jasa penerbangan, dengan menggunakan pesawat kargo BOEING C.130 dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju ke bandara atau lapangan penerbangan yang terdekat di daerah pemenang

Kalimat pertama jelas salah karena kita cuma satu punya satu UUD, tidak ada UUD no. 32. Sedangkan Bank Indonesia adalah bank sentral, bukan bank transaksional yang mau repot-repot mengurus pencairan hadiah. Kalimat ketiga sesungguhnya adalah ide imajinatif yang mengagumkan. Kalimat tersebut sangat keren sehingga mungkin tampak benar-benar nyata. Tetapi, selain hal itu tak mungkin dilakukan, C130 Hercules adalah buatan Lockheed Martin, bukan buatan Boeing.

Orang bodoh seperti apa yang membuat penipuan yang begitu jelas seperti itu? Berlawanan dengan apa yang dipikirkan sebagian  besar orang, pak Edy (si penipu, mari kita sebut saja begitu sesuai dengan nama yang tertulis di blogspot, meskipun kemungkinan besar itu nama palsu) adalah orang yang cukup pintar. Lanjutkan membaca

Adek, Antara WhatsApp Abang dan Tas Pumping

Ini kedua kalinya aku ada di belakang mbak ini saat di kereta. Dan di kereta yang penuh banget seperti ini, aku tidak bisa tidak ikut membaca chattingan-nya.

Bahkan sebenernya, aku justru malah nggak hapal mukanya. Terutama karena dia pakai masker sepanjang di kereta. Aku mengingatnya justru karena chattingan-nya. Dalam dua kesempatan itu, mBaknya selalu chatting dengan seseorang yang kontaknya disimpan dengan nama “Pak Fadli BPAD”. Tapi di dalam chatting yang intense itu, pak Fadli dia sapa dengan sebutan “Abang”.

Pas pertama kali ketemu lebih dari sebulan yang lalu, pak Fadli atau agar lebih enak saya juga ikutan sebut Abang, sedang galau karena sesuatu entah apa. Adek (begitu si mbak menyebut dirinya dalam chatting dan begitu pula Abang memanggilnya), menasehati Abang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Abang pun setuju, Abang mau menyerahkan semua masalahnya kepada Tuhannya.

Dalam chatting itu, Abang – Adek ini begitu religius. Tapi sebagai orang yang berpengalaman dalam ribuan proses pedekate, aku nggak sepercaya itu dengan Abang. Itu biasanya hanya sebuah trik agar kelihatan religius saat mendekati cewek yang kelihatan religius. Kebetulan Adek tampak religius dengan jilbabnya.

Hari ini, begitu pintu kereta menutup di stasiun Kebayoran Lama, Adek langsung merogoh hapenya, sebuah iPhone. Dibukanya chatting dengan Abang, dan dia bertanya “Abang di mana?”. Aku nggak sempat baca balasan dari Abang karena Abang nggak langsung membalas. Setidaknya sampai kereta nyampai stasiun Palmerah. Setelah dari stasiun Palmerah aku nggak lagi ada di belakang Adek.

Tapi hari ini aku jadi tahu kalau Abang – Adek ini kerja di tempat yang sama. Antara Kebayoran – Palmerah tadi aku melihat Adek punya grup wasap dengan nama “BPAD – DKI”. Setelah aku gugling barusan, BPAD adalah Badan Pengelola Aset Daerah, kantornya di Jalan Abdul Muis nggak terlalu jauh dari stasiun Tanah Abang. Jadi wajar kalau Abang dan Adek jadi deket, namanya juga temen kantor.

Yang bikin kedekatan mereka menarik bagiku adalah bawaan Adek saat naik kereta. Dalam dua kesempatan itu, Adek selalu membawa tas yang aku kenali sebagai tas pumping. Banyak ibu-ibu di kereta yang membawa tas sejenis. Isinya biasanya adalah botol kaca kosong saat berangkat kantor. Saat pulang, botol kosong itu menjadi berisi ASI, yang diperas dari tubuhnya sendiri saat di kantor. ASI itu menjadi bekal makanan untuk bayi mereka selama ibunya kerja.

Lanjutkan membaca

Sepatu

WhatsApp Image 2017-07-29 at 13.08.54

“Kalau kita ketemu dalam keadaan yang berbeda, kita bakal pacaran nggak ya?”

Pertanyaan itu tiba-tiba muncul, meluncur begitu saja tanpa aba-aba darimu. Pertanyaan itu mengagetkanku setidaknya karena dua hal. Yang pertama, kamu sudah memecahkan sepi yang aku nikmati. Sepi yang tercipta semenjak kita berdua tiba. Aku memilih sunyi, kamu juga tak mengucap kata. Dinding yang mencoba menguping dari tadi hanya mendengar hening. Pertanyaanmu membuat sepi pecah berkeping.

Yang kedua, pertanyaan itu mengagetkan karena pertanyaan itu ada di urutan pertama, setidaknya ada di tiga besar dalam daftar pertanyaan-yang-tidak-boleh-ditanyakan-dalam-hubungan-kita. Saingan utamanya adalah “Apakah kamu sayang padaku?”. Sungguh pun berkali terlintas dalam pikiranku, tak ada berani aku menanyakannya padamu.

“Kamu nembak aku?”, jawabku. Lanjutkan membaca

Antara Perpustakaan, iJakarta, dan Gramedia

Tahun lalu, sempat mengemuka wacana pembangunan perpustakaan DPR. Perpustakaan dengan anggaran Rp 570 miliar tersebut, oleh pengusulnya diharapkan menjadi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara, mampu menampung hingga 600ribu buku, dan dengan model mengacu pada Library of Congress. Urgensi yang dikemukakan untuk pembangunan perpustakaan itu sungguh klasik: untuk mencerdaskan bangsa. Negara susah maju karena enggak doyan buku, begitu kata Akom, ketua DPR waktu itu.

Kalau perpustakaan itu jadi dibangun, apakah dengan serta merta masyarakat Indonesia akan jadi doyan buku? Enggak, menurut saya. Bagi masyarakat Jakarta saya, akses ke perpustakaan tersebut akan sama susahnya dengan akses terhadap pintu tol JCC deket DPR situ. Susah karena macet. Kalau cuma untuk baca satu dua buku, lebih mudah bagi masyarakat Jakarta untuk datang ke Gramedia terdekat lalu beli buku yang dimaksud.

Apalagi bagi masyarakat daerah. Biaya untuk ke Jakarta-nya bisa jadi malah lebih mahal daripada biaya untuk beli buku yang ingin dibaca. Kalau beneran mengacu pada Library of Congress di mana buku koleksinya tidak bisa dipinjam untuk dibawa pulang, maka masyarakat daerah harus nginep di Jakarta kalau mau baca buku sampai selesai. Cerdas.

Solusi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang lebih tepat justru dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI. Mereka menyediakan buku-buku koleksinya untuk diakses secara online dari mana saja melalui aplikasi bernama iJakarta. Melalui aplikasi itu, semua orang di mana saja dan kapan saja bisa meminjam buku secara online.

all-temps-small Lanjutkan membaca

Saya Mabuk Dalam Perjalanan ke Derawan

Sekitar tiga tahun lalu, seorang teman bercerita tentang perjalanannya ke Derawan. Tentang danau yang dipenuhi dengan ubur-ubur yang tidak beracun. Teman saya itu bercerita dengan penuh semangat. Tetapi cerita tinggal cerita. Cerita itu sama sekali tidak membuat saya tertarik untuk suatu saat berkunjung ke Derawan. Bagi saya, perjalanan ke Derawan mirip-mirip dengan perjalanan Leo Di Caprio dalam the Beach. Saya tak punya cukup uang dan keberanian untuk melakukannya.

Dua alasan tersebut cukup untuk menjauhkan saya dari Derawan. Sampai minggu lalu, takdir membawa saya ke Tarakan, salah satu pintu masuk ke Derawan. Berarti alasan biaya gugur, karena setidaknya saya tak harus keluar tiket pesawat yang menjadi komponen terbesar biaya ke Derawan. Berarti tinggal satu alasan lagi dan pantang bagi laki-laki untuk mundur kalau sudah di depan pintu seperti ini.

Berangkatlah sudah saya ke Derawan dan dengan segera saya menemukan alasan ketiga untuk (seharusnya) tidak ke Derawan. Lanjutkan membaca

Banyuwangi, Gadis Ayu Menarik Hati

Banyuwangi dapat dengan mudah digambarkan sebagai seorang gadis ayu yang sekali waktu kita temui dalam jalan-jalan ke sebuah kampung atau desa. Dalam sekali pandang, si gadis langsung mempesona dengan kecantikannya yang sederhana, enggak neko-neko walau bahkan tanpa make up. Setelah satu dua ucap mengobrol, si gadis semakin mempesona dengan keanggunan yang tiada matre, sungguh berbeda dengan cewek gaul kota yang banyak tersedia di mall-mall.

Itu kesan yang saya tangkap saat mengunjungi kota Banyuwangi di sisi paling Timur pulau Jawa. Jalan-jalan bersih, rapi, dan tertib. Tak ada pedagang kaki lima, tak ada macet, tak ada pula anak jalanan atau pengamen. Warganya ramah luar biasa hingga tiap kali berinteraksi dengan mereka, membuat saya ingat betapa brutalnya tingkah laku saya semenjak lama tinggal di ibukota.

banyuwangi

Ini kota di mana Anda bisa menemukan anggaran pendapatan dan belanja daerah dipajang besar-besar di baliho di pusat kota. Di kota ini pula, Anda akan menemukan baliho yang isinya rencana kegiatan dan festival kota sepanjang satu tahun penuh. Berbekal berbagai festival tersebut, pemerintah daerah berusaha menarik wisatawan untuk menghidupi kotanya. Apa yang saya lihat tersebut, ditambah kesaksian oleh warganya sendiri, benar-benar menunjukkan apa yang bisa dilakukan sebuah kota bila pemimpinnya benar-benar bekerja.

Tak hanya cantik secara fisik, Banyuwangi pun pandai bermain dengan lidah. Lanjutkan membaca

Surat Terbuka Untuk Sri

surat terbuka

Beberapa malam kemarin itu, Jono (sebut saja begitu) mengirim wasap kepada saya. Jono ini sejenis teman yang “unik”. Cuma muncul kalau lagi ada perlunya saja, entah mau ngutang atau ada perlu lain. A friend in need is a friend indeed, begitu kilahnya saat saya protes. Karenanya, saat saya terima pesan dari Jono ini, saya langsung tahu maksud dan tujuannya.

Jono meminta ketemu, yang saya iyain kemarin sore. Benar saja, tiada lain tiada bukan, si Jono ini memang mau minta tolong. Tak sekedar utang, yang dia minta kali ini lebih berat.

“Aku kepingin nikah, Jon.” (Entah kenapa, dari dulu saya dan Jono memang saling bertukar sapaan yang sama, Jon.)

Nah kan, saya bukan penghulu, bukan orang tuanya, bukan pula calon mertuanya, tapi Jono meminta tolong pada saya untuk menikahkannya. Ya jelas saya bingung.

Yang lebih bikin bingung, dia cuma mau dinikahkan dengan satu orang secara khusus. Mantan pacarnya. Mantan pacarnya yang sudah minggat sejak kapan tau. Entah masih hidup atau sudah mati, entah sudah kawin atau punya anak lima, lha gimana saya mau menikahkan mereka. Lanjutkan membaca

Esuk Déle, Sore Tempe

Esuk dele sore tempe” adalah sebuah istilah Jawa untuk menggambarkan sebuah keadaan, bisa perkataan, perbuatan, dan orang yang plin-plan, mencla-mencle, dengan kata lain, tidak tegas. Pagi berpendapat A, sore sudah berubah menjadi B. Orang yang esuk dele sore tempe, apalagi kalau keseringan, jelas bukan orang yang bisa dipercaya, bukan orang yang bisa dipegang janji-janjinya.

Tapi, tak semua orang yang berubah pendapat bisa langsung dicap sebagai pembuat tempe. Ada batasan-batasan tertentu yang membuat orang bisa berubah pikiran namun bebas dari sangkaan pasal mencla-mencle.

Yang pertama, kalau pendapat pertama jelas-jelas salah. Awalnya saya kira dele, pas dimakan ternyata mete. Apa ya saya tetep ngotot kalo itu dele. Kalo saya sekarang ngomong itu mete, apa ya saya disalahkan justru karena saya (sekarang) benar. Justru kalau saya ngeyel ngomong itu dele, saya orang yang kaku dan perlu disogok. Pake bambu…

Kesadaran akan adanya kesalahan ini, bisa jadi datang dari diri sendiri, atau diingatkan oleh orang lain.

Kedua, orang akan dimaafkan mengubah pendapatnya, jika memang keadaannya memang sudah berubah. Kalau tadi pagi masi dele, namun sekarang sudah diragiin dan sore ini sudah jadi tempe, mosok ada yang masih ngotot itu dele. Tadi pagi saya ngomong dele itu benar, sekarang saya ngomong tempe juga benar. Wong kenyataannya memang sudah berubah.

Nah, esuk dele sore tempe itu ya cocok buat orang yang hari ini bilang A, besok udah ganti jadi B, padahal barangnya masih sama. Apalagi kalau orangnya pinter ngeles, ngomong kalau barang yang kita bicarakan ini berbeda, dan sejumlah elakan lainnya seolah-olah yang diajakan ngomong itu orang yang bodoh semua.

Dan tak ada yang lebih parah jika kamu mencla-mencle karena ada kepentingan yang sedang kamu perjuangkan. Kamu melacurkan bibir dan harga diri untuk kepentingan sesaat.

Esuk dele, sore buak sampah wae.

Belajar Bahasa Inggris di Chennai

20140508_195813

Me Rockie

“Ah, lo sama aja kayak anggota DPR, jalan-jalan ke luar negeri pakai duit negara”

Sebelum Anda menghakimi saya dengan ungkapan yang luar biasa keji tersebut, berikan kesempatan saya membela diri terlebih dahulu. Saya pergi ke Chennai dalam rangka tugas untuk mengunjungi salah satu vendor sebuah Bank di Indonesia. Tugas saya adalah memastikan vendor tersebut telah memenuhi prinsip kehati-hatian dalam operasionalnya, sehingga uang Bank yang digunakan untuk membayar vendor tersebut (yang tentunya uang masyarakat juga) tidak terbuang sia-sia. Lebih lanjut, kunjungan saya dan tim juga untuk memastikan data-data nasabah Indonesia yang diolah di Chennai tidak disalahgunakan.

Tapi kan elo juga sempet jalan-jalan.

Iya, saya jalan-jalan. Di hari kepulangan saya. Di kantor saya, berlaku aturan H-1 dan H+1 untuk pergi dan pulang dinas. Artinya, dalam kasus Chennai ini, karena penugasan saya untuk hari Senin sampai Kamis, maka saya diharuskan berangkat H-1, hari Minggu dan pulang hari Jumat. Nah, karena penerbangan pulang saya di hari Jumat adalah jam 11 malam waktu setempat, maka hari Jumat itu dimanfaatkan untuk melihat-lihat Chennai. Rasanya cukup fair.

Kalau tuduhan Anda sudah ditarik, silakan lanjutkan membaca kisah perjalanan saya di Chennai. Lanjutkan membaca