Dalam Persiapan Keberangkatan (PK) angkatan 183, saya adalah anggota tertua paling senior di kelompok di mana saya bergabung. Bahkan, saya adalah satu dari hanya dua anggota yang lahir tahun 1980an. Itu pun masih ditambah fakta di mana saya baru akan kuliah untuk gelar master (S2). Tak sedikit teman yang lebih muda sudah bersiap-siap untuk gelar doktor mereka.
Untungnya, saya sudah cukup tua dewasa, untuk mengerti benar bahwa hidup ini bukan sebuah balapan. Setiap orang mempunyai timeline masing-masing yang tidak bisa bandingkan. Timeline yang sedang kita jalani adalah yang terbaik bagi diri kita masing-masing. Bagi saya, justru dengan bekerja terlebih dahulu selama hampir 12 tahun, memudahkan jalan saya untuk mendapatkan peluang untuk gelar master. Termasuk dalam hal mendapatkan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Dalam 12 tahun bekerja, saya mendapatkan beberapa hal yang membuat tahap-tahap proses seleksi LPDP terasa mudah. Yang pertama, selama bekerja, saya mendapatkan pengalaman untuk berhadapan secara langsung dengan masalah nyata. Pengalaman tersebut membuat saya memahami masalah secara lebih realistis serta melebarkan wawasan saya.
Hal ini terutama membantu dalam membuat esai untuk tahap seleksi LPDP. Jika saya adalah sarjana Ilmu Komputer saja, mungkin saya tidak bisa langsung memahami hubungan antara perkembangan fintech dengan inklusi keuangan. Bahkan mungkin saja saya malah tidak mengerti sama sekali soal inklusi keuangan.
Pengalaman saya sebagai pengawas bank, membuat saya mengerti bahwa perkembangan fintech berpotensi meningkatkan inklusi keuangan. Selanjutnya, hal tersebut bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum sebagaimana tercantum dalam Sustainable Development Goals (SDG) 2030.
Saya mengangkat hal ini sebagai tema besar dalam esai minimal 2.000 kata yang menjadi tahap pertama seleksi LPDP. Saya relatif tidak kesulitan untuk menyusun esai sepanjang itu. Cukup banyak pengalaman, pengetahuan, dan wawasan yang bisa saya tulis untuk memenuhi syarat seleksi pertama beasiswa LPDP tersebut.
Esai LPDP tersebut juga berisi alasan dan latar belakang yang cukup kuat untuk mendukung pilihan jurusan kuliah S2. Selain dalam hal esai, pemahaman yang mendalam juga membantu saya meyakinkan pewawancara bahwa saya adalah orang yang tepat untuk menjadi penerima beasiswa.
Kedua, pengalaman kerja membuat saya tahu persis rencana karir dan pendidikan yang saya butuhkan. Saat (akan) lulus dari Ilmu Komputer UGM, pilihan program studi saya terbatas pada S2 Ilmu Komputer atau program Magister Teknologi Informasi (MTI). Dengan pengalaman kerja saya di bidang keuangan, saya tahu Financial Technology akan menjadi next big thing. Dibanding jurusan-jurusan tradisional tersebut, jurusan Financial, Technology, and Policy sangat cocok untuk mendukung pengembangan karir saya.
Pengetahuan ini baru saya dapatkan setelah saya terjun ke bidang keuangan. Tak hanya terkait fintech, University of Edinburgh sendiri juga menawarkan beberapa jurusan niche yang sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya beberapa jurusan terkait sustainability yang juga menjadi salah satu hot topic dalam SDG 2030. Ada juga misalnya jurusan Design for Change, yang cocok untuk karir sebagai product designer di startup-startup teknologi.
Ketiga, usia dan pengalaman bekerja membekali saya tak hanya dengan pengetahuan teknis, tetapi juga keterampilan non-teknis. Dibandingkan dua belas tahun yang lalu, saya lebih tenang dan matang dalam proses wawancara. Bahkan, selama bekerja saya juga sudah beberapa kali menjadi interviewer atau pewawancara. Hal ini membuat saya lebih memahami, walaupun mungkin tidak secara keseluruhan, hal-hal apa yang ingin didengar oleh pewawancara dalam tahap ketiga seleksi LPDP.
Yang keempat, dengan bekerja saya punya ikatan dengan institusi tempat saya bekerja saat ini. Ikatan ini menguntungkan saya sebagai hal yang akan dipertimbangkan oleh LPDP. Sebagaimana jamak diketahui, LPDP mensyaratkan penerima beasiswa untuk kembali ke Indonesia setelah selesai sekolah. Awardee yang mempunyai ikatan dengan institusi lain, punya tanggung jawab yang lebih besar (karena ijazah saya dititipkan di kantor) untuk segera kembali ke Indonesia dan mengabdi pada negara melalui institusi terkait. Hal ini tentu saja memperbesar peluang saya untuk diterima LPDP. Di sisi lain, saya tak perlu khawatir dan pusing untuk mencari pekerjaan setelah pulang sekolah nanti.
Kelima, karena sudah bekerja cukup lama, saya lumayan punya tabungan. Terlihat absurd dan tidak nyambung dengan proses seleksi. Tetapi, di sosial media banyak yang mengeluhkan kalau LPDP adalah beasiswa yang justru untuk orang kaya. Alasannya, LPDP menggunakan sistem reimburse untuk beberapa pengeluaran seperti pengurusan VISA. Dari pengalaman saya, dana talangan yang dibutuhkan cukup besar. Untuk pengurusan VISA saja (dan NHS) untuk United Kingdom, biaya yang dibutuhkan sekitar Rp20 juta. Saya jelas-jelas nggak punya uang pribadi untuk menalangi biaya tersebut saat baru lulus kuliah 12 tahun yang lalu.
Di sisi lain, biaya untuk persiapan mendaftar LPDP juga sebenarnya tidak kecil. Untuk bisa mendapatkan sertifikat bahasa Inggris IELTS misalnya, perlu daftar ujian senilai sekitar Rp3 juta. Kalau sudah bekerja, biaya ini bisa diakali dengan menabung (sambil belajar) Rp500 ribu dalam enam bulan. Kalau punya uang lebih, saya sarankan untuk bayar kursus yang bagus agar tidak perlu mengulang IELTS beberapa kali.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya menyarankan untuk bekerja dulu sebelum melanjutkan kuliah dengan biaya dari LPDP. Namun demikian, layaknya semua pilihan, saya menyadari bahwa pilihan ini mempunyai kelemahan, terutama terkait dengan merawat motivasi. Setelah bekerja bertahun-tahun, apalagi jika karir cerah dan menjanjikan, keinginan untuk sekolah lagi biasanya memudar. Perlu life plan dan goals yang jelas untuk tetap merawat mimpi untuk melanjutkan sekolah.
Sekali lagi, setiap orang mempunyai timeline yang berbeda-beda. Kebetulan timeline saya membuat saya bekerja dulu dan membuat saya merasa dimudahkan baik untuk mendapatkan beasiswa LPDP maupun diterima di University of Edinburgh. Langkah ini layak untuk dipertimbangkan dengan memperhatikan potensi serta kelemahan diri sendiri. Bagaimana pun, pendidikan bukan tentang siapa yang tercepat meraih gelar. Namun merupakan metode pengembangan diri untuk seoptimal mungkin berkontribusi bagi lingkungan sekitar.