Esuk Déle, Sore Tempe

Esuk dele sore tempe” adalah sebuah istilah Jawa untuk menggambarkan sebuah keadaan, bisa perkataan, perbuatan, dan orang yang plin-plan, mencla-mencle, dengan kata lain, tidak tegas. Pagi berpendapat A, sore sudah berubah menjadi B. Orang yang esuk dele sore tempe, apalagi kalau keseringan, jelas bukan orang yang bisa dipercaya, bukan orang yang bisa dipegang janji-janjinya.

Tapi, tak semua orang yang berubah pendapat bisa langsung dicap sebagai pembuat tempe. Ada batasan-batasan tertentu yang membuat orang bisa berubah pikiran namun bebas dari sangkaan pasal mencla-mencle.

Yang pertama, kalau pendapat pertama jelas-jelas salah. Awalnya saya kira dele, pas dimakan ternyata mete. Apa ya saya tetep ngotot kalo itu dele. Kalo saya sekarang ngomong itu mete, apa ya saya disalahkan justru karena saya (sekarang) benar. Justru kalau saya ngeyel ngomong itu dele, saya orang yang kaku dan perlu disogok. Pake bambu…

Kesadaran akan adanya kesalahan ini, bisa jadi datang dari diri sendiri, atau diingatkan oleh orang lain.

Kedua, orang akan dimaafkan mengubah pendapatnya, jika memang keadaannya memang sudah berubah. Kalau tadi pagi masi dele, namun sekarang sudah diragiin dan sore ini sudah jadi tempe, mosok ada yang masih ngotot itu dele. Tadi pagi saya ngomong dele itu benar, sekarang saya ngomong tempe juga benar. Wong kenyataannya memang sudah berubah.

Nah, esuk dele sore tempe itu ya cocok buat orang yang hari ini bilang A, besok udah ganti jadi B, padahal barangnya masih sama. Apalagi kalau orangnya pinter ngeles, ngomong kalau barang yang kita bicarakan ini berbeda, dan sejumlah elakan lainnya seolah-olah yang diajakan ngomong itu orang yang bodoh semua.

Dan tak ada yang lebih parah jika kamu mencla-mencle karena ada kepentingan yang sedang kamu perjuangkan. Kamu melacurkan bibir dan harga diri untuk kepentingan sesaat.

Esuk dele, sore buak sampah wae.

Anna Karenina dan Kereta yang Berjalan Mundur

anna-kareninaBanyak orang Jawa, mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskan peristiwa “tertabraknya seseorang oleh kendaraan yang sedang mundur” dalam bahasa lain. Sementara pada bahasa-nya, dengan mudah dia akan menggunakan satu kata spesifik, kunduran. Contoh kata lain dalam bahasa Jawa yang tidak mempunyai padanan tepat dalam bahasa Indonesia adalah mbedhedeg, untuk menjelaskan keadaan makanan yang sudah tidak hangat lagi sehingga rasanya agak tidak enak. Mungkin pemakai bahasa lain juga mengalami kesulitan yang sama ketika diminta menerjemahkan suatu kata dalam bahasanya.

Jika hal itu terjadi dalam sebuah kata, bagaimana dengan sebuah kalimat, sebuah paragraf, apalagi sebuah buku.

Berniat memperkaya bacaan, saya dengan girang membeli buku berjudul Anna Karenina ketika menemukan buku ini di Gramedia Kota Baru, Yogyakarta beberapa waktu silam. Buku ini adalah salah satu karya dari pengarang terkenal Rusia, Leo Tolstoy. Umur cerita Anna Karenina ini sudah lebih dari seabad. Lanjutkan membaca