GoPay, Calon Penguasa Sistem Pembayaran Elektronik di Indonesia

Catatan: Tulisan ini sudah mulai ditulis sebelum munculnya berita kemungkinan akuisisi GoJek atas layanan e-money PonselPay. Namun karena lambatnya proses penulisan, cerita ini menjadi agak basi dengan munculnya berita tersebut, apalagi (saya juga baru baca) Amir dari DailySocial, sudah pernah menuliskan opini yang serupa lima bulan yang lalu.

Pada triwulan II tahun 2016, PayPal, perusahaan teknologi yang memberikan layanan sistem pembayaran, menyimpan dana nasabah sebesar USD 13,02 miliar. Angka tersebut setara dengan Rp 171,32 triliun dan akan menempati peringkat kelima terbesar jika dibandingkan dengan dana nasabah yang dikelola bank-bank di Indonesia. Sementara Starbucks, warung kopi di mall-mall itu, memiliki dana kelolaan sekitar Rp 15 triliun, lebih besar daripada sebagian Bank menengah-kecil di Indonesia.

Jumlah dana kelolaan itu terbilang sangat besar untuk perusahaan non-keuangan. Katakanlah setengah dari dana tersebut mengendap dan disimpan oleh Starbucks dalam bentuk deposito dengan bunga 6% setahun, Starbucks bisa memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp 37,5 miliar sebulan. Itu tambahan pasif di luar bisnis warung kopi yang mereka lakukan. Apalagi jika Starbucks mempunyai unit bisnis treasury yang cerdas untuk mengelola dana tersebut. Dana nasabah yang mengendap tersebut menjadi dana pinjaman cuma-cuma untuk Starbucks dengan potensi keuntungan yang besar.

Potensi keuntungan tersebut menjadi lebih tinggi bagi Paypal. Selain karena dana kelolaan mereka nilainya lebih dari sepuluh kali milik Starbucks, Paypal juga memang bergerak di bidang finansial sehingga bisa lebih lincah dalam mengelola dana nasabah tersebut.

gojek

Potensi keuntungan tersebut sepertinya juga diincar oleh Gojek melalui GoPay-nya. Lanjutkan membaca

Bank Indonesia Resmi Anggap Bitcoin Bukan Mata Uang

Bank Indonesia akhirnya mengeluarkan sikap resmi terkait dengan virtual currency khususnya Bitcoin. Kebijakan ini, memperkuat komentar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald Waas, yang sebelumnya menganggap penggunaan Bitcoin sebagai pelanggaran undang-undang.

Dalam rilis berita yang dikeluarkan pada hari ini, 6 Februari, Bank Indonesia menganggap bahwa Bitcoin dan virtual currency lainnya bukanlah sebuah mata uang atau alat pembayaran yang sah untuk digunakan di Indonesia. Lebih lanjut, masyarakat diminta untuk berhati-hati terhadap Bitcoin dan virtual currency lainnya, karena risiko tinggi yang melekat pada Bitcoin. Bank Indonesia tidak bertanggung jawab atas segala risiko yang disebabkan oleh penggunaan atau kepemilikan Bitcoin.

Apakah sebenarnya Bitcoin sedemikian berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia sehingga Bank Indonesia harus membahasnya dalam rapat tertinggi? Sebenarnya tidak juga. Jumlah transaksi Bitcoin hanya sekitar 20-30 transaksi per hari dengan nilai transaksi sekitar 50-100 juta Rupiah. Pada level ini, kenaikan atau penurunan secara drastis nilai Bitcoin tidak berpengaruh besar terhadap ekonomi makro Indonesia.

Keputusan Bank Indonesia ini merupakan sebuah tindakan preventif untuk melindungi masyarakat sebelum Bitcoin menimbulkan dampak yang lebih besar di Indonesia. Lanjutkan membaca

Anarki Bitcoin

anarkiMarilah kita mulai membaca tulisan ini dengan sejenak mengheningkan cipta untuk nasib buruk kata “anarki” di Indonesia. Sejak zaman akhir orde baru pada tahun 1997-1998, kata anarkis marak digunakan dalam pemberitaan dengan makna “kekerasan”.  Contohnya dalam judul berita “Demo Anarki Timbulkan Antipati“. Padahal, dalam KBBI, anarki berarti (1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; (2) kekacauan (dl suatu negara).

Masih menurut KBBI, anarkisme diartikan sebagai “ajaran (paham) yg menentang setiap kekuatan negara; teori politik yg tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang”. Meskipun ada penganut anarki yang menghalalkan segala cara, tetapi banyak juga pelaku anarki yang menghindarkan penggunaan kekuatan dan kekerasan dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang mereka inginkan. Sementara berkat penggunaan yang salah dari media sampai sekarang, kata anarkis bergeser maknanya sebagai sebuah tindakan yang merusak, menimbulkan kekacauan, menganggu ketertiban, atau membahayakan keamanan.

Salah satu contoh terbesar berjalannya anarkisme adalah pada tahun 1936 saat terjadinya revolusi Spanyol. Sekitar lima sampai tujuh juta orang bergabung dalam sebuah struktur sosial tanpa pemerintahan. Setiap orang melakukan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing : ada yang bekerja di bidang pertanian, bekerja di pabrik atau sekolah, hingga menahan serangan dari militer. Hasil dari pekerjaan tersebut dapat dinikmati oleh setiap orang sesuai dengan kebutuhan masing-masing, bukan berdasarkan apa yang telah mereka berikan untuk komunitas.

Pada contoh tersebut, absennya penguasa tidak menghasilkan hal-hal yang ditakutkan warga negara pada umumnya: kekerasan dan kriminal di mana-mana, masyarakat hidup dalam kelaparan, hukum rimba berlaku, dan sebagainya. Anarkisme yang terjadi pada saat itu, jauh berbeda dengan makna anarkisme yang dikenalkan media kita.

Dalam arti sebenarnya, salah satu bentuk anarki yang sekarang sedang berkembang adalah Bitcoin. Bitcoin, yang telah ada sejak tahun 2009, marak diperbincangkan di Indonesia akhir tahun 2013 kemarin. Ramainya perbincangan Bitcoin (dan mulai adanya transaksi menggunakannya), sampai membuat Bank Indonesia merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap Bitcoin. Langkah Bank Indonesia tersebut sepertinya membuat entitas yang berkepentingan terhadap Bitcoin di Indonesia merasa mendapatkan angin perhatian dari otoritas sistem pembayaran di Indonesia tersebut. Dua diantara founder entitas tersebut kemudian menulis surat terbuka untuk Bank Indonesia. Lanjutkan membaca