dalam Professional Opinion

Tantangan Regulasi Kripto

Artikel ini terbit di harian Seputar Indonesia, 17 Januari 2023 halaman 6.

Kebangkrutan FTX, bursa kripto ketiga terbesar, menjadi momentum untuk mengatur perdagangan mata uang kripto. FTX, yang kemudian diketahui banyak terjadi salah kelola, telah menyebabkan 1,2 juta nasabah kehilangan dana sebesar US$8 juta. Perlindungan nasabah dan semangat untuk menjaga integritas pasar menjadi prioritas untuk segera meregulasi bisnis ini.

Pasca FTX, sejumlah regulator menyuarakan kekhawatiran terhadap perkembangan industri kripto. Federal Reserve menyatakan bahwa mata uang kripto membutuhkan pengaturan dengan standar yang sama dengan institusi keuangan tradisional. Dalam waktu dekat, Federal Reserve akan mengeluarkan regulasi lebih ketat terhadap aktivitas kripto.

Di Uni Eropa, Financial Stability Board (FSB) sudah memublikasikan proposal framework pengaturan aset kripto. Proposal ini menjunjung prinsip “kegiatan yang sama dengan risiko yang sama, harus mempunyai peraturan yang sama”. Proposal tersebut berisi rekomendasi regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas aset kripto, termasuk penguatan kerja sama internasional.

Sementara itu, Inggris sedang dalam proses amandemen terhadap Financial Services and Markets Act. Setelah kebangkrutan FTX, pasal untuk memasukkan pengaturan stablecoin dan aset kripto ditambahkan dalam proses amandemen tersebut. Konsep pengawasan bertujuan agar inovasi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjaga stabilitas keuangan dan memenuhi standar pengaturan.

Kripto di Indonesia saat ini diatur sebagai komoditas di bawah pengawasan Bappebti. Meskipun belum terdapat insiden terkait dengan aktivitas kripto, bukan berarti pengaturan lebih ketat tidak diperlukan. Geliat regulasi dari negara lain perlu untuk segera diikuti oleh regulator di Indonesia.

Sifat transaksi kripto yang tidak mengenal batas yuridiksi membutuhkan standarisasi regulasi antarnegara. Celah pengaturan dapat dimanfaatkan oleh institusi kripto dengan memindahkan kegiatannya di negara dengan peraturan yang lebih longgar sambil tetap melayani transaksi dari seluruh dunia. Hal ini telah dicontohkan pada relokasi kantor pusat FTX dari Hong Kong ke Bahama pada 2021.

Tanggung Jawab OJK

Pengaturan dan pengawasan transaksi kripto nantinya akan menjadi tanggung jawab OJK. Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) mengamanatkan tugas baru kepada OJK untuk menjadi pengawas inovasi teknologi sektor keuangan, aset keuangan digital, dan aset kripto.

Tugas ini tidak mudah bagi OJK. Perlu memastikan keseimbangan tiga aspek sesuai teori Fintech Trilemma. Tiga aspek tersebut adalah kemudahan berinovasi, terjaganya integritas pasar, serta kejelasan peraturan. Brummer dan Yadav (2019) menyebut bahwa regulator secara optimal hanya dapat memilih dua dari tiga aspek tersebut.

Mendukung inovasi dengan pengaturan yang jelas (misalnya dengan memberikan kemudahan perizinan), akan mengancam integritas pasar. Kemudahan perizinan dilakukan antara lain dengan menurunkan standar yang membuat pelaku usaha dengan kualitas rendah dapat masuk dalam persaingan. Hal ini akan meningkatkan risiko pencucian uang atau kerugian nasabah.

Di sisi lain, jika otoritas mengutamakan integritas pasar dengan tetap mempertahankan kesederhanaan peraturan, maka peraturan tersebut akan berisi larangan-larangan tegas. Perangkat larangan ini akan menghambat aktivitas industri yang berujung pada hambatan terjadinya inovasi.

Sebaliknya, diperlukan aturan yang kompleks untuk menjaga integritas pasar sekaligus menumbuhkan inovasi. Hal ini akan berdampak pada sulitnya proses memahami, mematuhi, serta menegakkan aturan-aturan tersebut. Selain itu, peraturan yang kompleks juga mempersulit koordinasi sesama regulator.

Dibutuhkan waktu relatif lama untuk dapat mencapai keseimbangan dalam pengaturan kripto. Bukan tidak mungkin, dalam proses tersebut akan terjadi trial and error. Celah atau kelemahan dalam pengaturan justru menimbulkan risiko pada stabilitas ekonomi.

Untuk itu, tahap awal pengaturan aset kripto perlu memperhatikan tiga hal. Pertama, pengaturan aset kripto dilakukan dengan prioritas untuk melindungi investor retail serta integritas pasar. Peraturan disusun untuk memastikan konsumen mendapatkan haknya apabila terjadi insiden pada institusi kripto seperti kebangkrutan, pencurian, atau kegagalan teknologi.

Selain itu, pengawasan dan pelaporan transaksi kripto perlu diterapkan untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan aktivitas kriminal. Dengan fokus pada hal tersebut, peraturan kripto dapat dijaga untuk tetap sederhana sekaligus memberikan ruang untuk inovasi.

Kedua, larangan bagi institusi keuangan tradisional untuk melakukan transaksi aset kripto perlu tetap diterapkan. Hal ini untuk memastikan gejolak pada aset kripto tidak mempengaruhi stabilitas ekonomi secara umum. Inovasi pada layanan keuangan tradisional tetap didorong dengan mengadopsi teknologi yang digunakan pada aset kripto, seperti blockchain.

Ketiga, pengaturan dibatasi hanya pada aset kripto yang mempunyai fungsi dan manfaat yang jelas bagi industri keuangan. Misalnya stablecoin yang berpotensi menghadirkan transaksi keuangan yang murah dan cepat. Mata uang kripto, yang hanya bertujuan untuk spekulasi, tidak perlu diatur agar tetap berada di luar sistem keuangan.

Industri kripto telah berkembang baik dari sisi jumlah nasabah, jenis produk, ukuran pasar, serta inovasi transaksi. Pada suatu titik, kripto dikhawatirkan mempunyai dampak yang sistemik serta mempunyai keterkaitan erat dengan sistem keuangan tradisional. Untuk itu, regulasi terhadap kripto menjadi tak terhindarkan untuk menjaga stabilitas perekonomian.

Tulis Komentar

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.